Multikulturalisme: Kebijakan Untuk Lindungi Masyarakat
Pluralis
Oleh:
Paelani Setia
Hampir
semua negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan—artinya perbedaan
menjadi asas utamanya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya di
muka bumi semakin intensif (Parekh: 2001). Dua poin utama yang perlu digaris
bawahi yaitu mobilitas sosial dan masyarakat pluralistik. Adanya mobilitas
sosial secara historis dilakukan oleh kelompok-kelompok pendatang karena arus
migrasi penduduk akibat adanya industrialisasi maupun perlindungan politik dari
konflik negara asal, hal ini menyebabkan adanya proses akulturasi budaya yang
ditularkan oleh para pendatang tersebut, akibatnya lahirlah masyarakat
pluralistik. Proses menuju masyarakat pluralistik tidak mudah, karena pada awalnya
dilakukan oleh kelompok minoritas dengan melewati berbagai penolakan dari kaum
pribumi, diskriminasi, hingga rasisme. Oleh karena itu, menyikapi hal tersebut perlu
diterapkan kebijakan multikulturalisme. Berikut alasan-alasan mengapa kebijakan
multikulturalisme perlu diterapkan:
Pertama, keragaman
penduduk. Mobilitas penduduk yang tinggi dalam suatu
negara maupun antar negara menyebabkan munculnya penduduk dengan latar belakang
yang berbeda-beda, baik itu suku, agama, ras, dan budaya. Ini yang disebut
dengan masyarakat pluralistik, ini pula terjadi di negara-negara Barat. Selain
itu, wilayah yang luas (maritim) dengan berbagai pola tradisi yang banyak
sebagai warisan nenek moyang juga menyebabkan masyarakat pluralistik, sebut
saja Indonesia.
Kedua, Multi-nation state.
Negara di dunia saat ini sangat langka terdiri dari
satu etnis atau suku bangsa saja, melainkan terdiri dari berbagai suku bangsa
atau multi-kebangsaan/multi etnis, yaitu terdiri dari dua atau lebih suku
bangsa yang hidup dalam suatu negara secara berdampingan. Untuk menciptakan
tatanan yang harmonis tidak ada cara selain kebijakan multikulturalisme.
Ketiga, melindungi
minoritas. Secara historis multikulturalisme selalu
berkaitan dengan kelompok minoritas faktanya ketika pertama kali di tetapkan di
Kanada 1988, tujuan utamanya adalah solusi atas tuntutan kelompok minoritas
Perancis yang merasa di nomorduakan oleh kelompok pribumi, sama halnya dengan
kelompok minoritas buruh di Amerika, ini menjadi ciri dari multikulturalisme
yaitu keinginan atas pengakuan (recognation). Ini penting bagi negara-negara
modern saat ini, dimana kelompok minoritas akan tetap ada dan perlu dilindungi
hak-haknya.
Keempat, mencegah
separatisme. Adanya kelompok-kelompok separatis yang
ingin memisahkan diri dari negara merupakan problem negara-negara berkembang
dan majemuk, biasanya disebabkan karena adanya perasaan ketidakadilan baik
sosial atau politik. GAM di Aceh merupakan salah satu contohnya. Tentunya
kebijakan multikulturalisme perlu diterapkan disamping kebijakan otonomi khusus
daerah untuk membendungnya.
Kelima, mencegah
disintegrasi bangsa. Multikulturalisme
merupakan paham yang memperbolehkan atau memberikan peluang yang sama besar
kepada setiap orang yang berbeda-beda untuk memenuhi hak-hak dan kewajibannya,
atau juga suatu kebijakan tentang keberagaman budaya, sehingga mampu
meminimalisir terjadinya konflik horizontal yang dapat memecah belah bangsa.
Hal ini penting, sebab dalam masyarakat plural potensi perpecahan sangat tinggi
karena adanya sentimen SARA dalam berbagai elemen kehidupan.
Keenam, memperkuat
prinsip supremasi hukum, demokrasi, dan HAM. Lahirnya
multikulturalisme tidak lepas dari adanya tatanan dunia baru yang lebih terbuka
dan berperikemanusiaan. Berbagai pelanggaran atas diskriminasi dan kompleksitas
problem masyarakat urban memerlukan adanya supremasi hukum yang mengikat dan
berkeadilan. Selain itu, prinsip kebebasan berserikat dan berpendapat perlu
jadi pegangan bernegara atau berdemokrasi karena hal tersebut merupakan hak
setiap manusia yang harus dilindungi undang-undang.
Ketujuh, prinsip
egalitarian. Konsep egaliter (bersifat sama/sederajat)
merupakan ciri dari masyarakat multikultural. Adanya budaya patriarki tentunya
bertentangan dengan konsep multikultural sehingga melahirkan konsep kesetaraan
gender, yaitu ciri atau sifat yang dihubungkan dengan jenis kelamin tertentu,
baik kebiasaan, budaya, maupun perilaku psikologis (Khuzai: 2013) yang di
konstruk dalam masyarakat, misalnya perempuan juga memiliki hak publik dalam
politik. Ini penting sebagai wujud adanya keseimbangan peran dalam bernegara.
Kedelapan, simbol negara
toleran, terdidik, dan kuat. Tak dapat dipungkiri
suatu negara kuat merupakan negara yang mempunyai nilai-nilai toleransi yang
tinggi, ini tentunya diimplementasikan oleh masyarakat yang terdidik, hal ini
dapat menjadi pemicu terciptanya tatanan negara yang aman dan inklusif.
Akibatnya, bisa berdampak pada peranan negara dalam dunia global.
Anthony
Giddens memperkenalkan sophisticated
multiculturalism (kemurnian multikulturalisme) yang di dalamnya terdapat penekanan
terhadap poin-poin penting yaitu: identitas dan hukum nasional; kewajiban
negara dalam memperkuat keberagaman suku bangsa; solidaritas sosial; komunikasi
antar kelompok; rasa keberagaman; dan keseimbangan kewajiban dan kepedulian
terhadap keberagaman etnik suku bangsa. Lebih lanjut Azyumardi Azra mengatakan
bahwa multikulturalisme adalah cara pandang dunia yang diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan pada penerimaan terhadap realitas
keagamaan, pluralistis, dan multikultural dalam masyarakat Juga dapat dipahami
sebagai pandangan dunia yang diwujudkan dalam aktivitas politik (Azra: 2007).
Jadi,
kebijakan multikulturalisme merupakan strategi jitu bagi pemerintah untuk
mewujudkan negara yang damai dan sejahtera. Sebuah jawaban atas tantangan
kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, semakin rumit, dan semakin modern
diabad XXI ini. Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah menerapkan kebijakan ini?
Perlukah dilembagakan (diformalkan dalam undang-undang) atau sudah cukup mengambil
substansi dari Bhinekka tunggal ika?
Tentunya, patut dikaji lebih dalam lagi dari berbagai sudut pandang.
Daftar Rujukan:
Azra, Ayjumardi,
2007. “Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia.”
Parekh, Bikhu,
2001. Rethinking Multiculturalism,
Harvard. Dalam Ana Irhandayaningsih, “Kajian Filosofis terhadap
Multikulturalisme Indonesia.”
Moh. Khuzai, Problem Definisi Gender: Kajian Atas Konsep
Nature dan Nurture, Jurnal Studi Agama dan pemikiran Islam, KALIMAH, Vol.
11, No. 1, Maret Th. 2013.