Multikulturalisme: Kebijakan Untuk Lindungi Masyarakat Pluralis

by - 07.33


Multikulturalisme: Kebijakan Untuk Lindungi Masyarakat Pluralis
Oleh: Paelani Setia
Hampir semua negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asas utamanya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya di muka bumi semakin intensif (Parekh: 2001). Dua poin utama yang perlu digaris bawahi yaitu mobilitas sosial dan masyarakat pluralistik. Adanya mobilitas sosial secara historis dilakukan oleh kelompok-kelompok pendatang karena arus migrasi penduduk akibat adanya industrialisasi maupun perlindungan politik dari konflik negara asal, hal ini menyebabkan adanya proses akulturasi budaya yang ditularkan oleh para pendatang tersebut, akibatnya lahirlah masyarakat pluralistik. Proses menuju masyarakat pluralistik tidak mudah, karena pada awalnya dilakukan oleh kelompok minoritas dengan melewati berbagai penolakan dari kaum pribumi, diskriminasi, hingga rasisme. Oleh karena itu, menyikapi hal tersebut perlu diterapkan kebijakan multikulturalisme. Berikut alasan-alasan mengapa kebijakan multikulturalisme perlu diterapkan:
Pertama, keragaman penduduk. Mobilitas penduduk yang tinggi dalam suatu negara maupun antar negara menyebabkan munculnya penduduk dengan latar belakang yang berbeda-beda, baik itu suku, agama, ras, dan budaya. Ini yang disebut dengan masyarakat pluralistik, ini pula terjadi di negara-negara Barat. Selain itu, wilayah yang luas (maritim) dengan berbagai pola tradisi yang banyak sebagai warisan nenek moyang juga menyebabkan masyarakat pluralistik, sebut saja Indonesia.
Kedua, Multi-nation state. Negara di dunia saat ini sangat langka terdiri dari satu etnis atau suku bangsa saja, melainkan terdiri dari berbagai suku bangsa atau multi-kebangsaan/multi etnis, yaitu terdiri dari dua atau lebih suku bangsa yang hidup dalam suatu negara secara berdampingan. Untuk menciptakan tatanan yang harmonis tidak ada cara selain kebijakan multikulturalisme.
Ketiga, melindungi minoritas. Secara historis multikulturalisme selalu berkaitan dengan kelompok minoritas faktanya ketika pertama kali di tetapkan di Kanada 1988, tujuan utamanya adalah solusi atas tuntutan kelompok minoritas Perancis yang merasa di nomorduakan oleh kelompok pribumi, sama halnya dengan kelompok minoritas buruh di Amerika, ini menjadi ciri dari multikulturalisme yaitu keinginan atas pengakuan (recognation). Ini penting bagi negara-negara modern saat ini, dimana kelompok minoritas akan tetap ada dan perlu dilindungi hak-haknya.
Keempat, mencegah separatisme. Adanya kelompok-kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari negara merupakan problem negara-negara berkembang dan majemuk, biasanya disebabkan karena adanya perasaan ketidakadilan baik sosial atau politik. GAM di Aceh merupakan salah satu contohnya. Tentunya kebijakan multikulturalisme perlu diterapkan disamping kebijakan otonomi khusus daerah untuk membendungnya.
Kelima, mencegah disintegrasi bangsa. Multikulturalisme merupakan paham yang memperbolehkan atau memberikan peluang yang sama besar kepada setiap orang yang berbeda-beda untuk memenuhi hak-hak dan kewajibannya, atau juga suatu kebijakan tentang keberagaman budaya, sehingga mampu meminimalisir terjadinya konflik horizontal yang dapat memecah belah bangsa. Hal ini penting, sebab dalam masyarakat plural potensi perpecahan sangat tinggi karena adanya sentimen SARA dalam berbagai elemen kehidupan.
Keenam, memperkuat prinsip supremasi hukum, demokrasi, dan HAM. Lahirnya multikulturalisme tidak lepas dari adanya tatanan dunia baru yang lebih terbuka dan berperikemanusiaan. Berbagai pelanggaran atas diskriminasi dan kompleksitas problem masyarakat urban memerlukan adanya supremasi hukum yang mengikat dan berkeadilan. Selain itu, prinsip kebebasan berserikat dan berpendapat perlu jadi pegangan bernegara atau berdemokrasi karena hal tersebut merupakan hak setiap manusia yang harus dilindungi undang-undang.
Ketujuh, prinsip egalitarian. Konsep egaliter (bersifat sama/sederajat) merupakan ciri dari masyarakat multikultural. Adanya budaya patriarki tentunya bertentangan dengan konsep multikultural sehingga melahirkan konsep kesetaraan gender, yaitu ciri atau sifat yang dihubungkan dengan jenis kelamin tertentu, baik kebiasaan, budaya, maupun perilaku psikologis (Khuzai: 2013) yang di konstruk dalam masyarakat, misalnya perempuan juga memiliki hak publik dalam politik. Ini penting sebagai wujud adanya keseimbangan peran dalam bernegara.
Kedelapan, simbol negara toleran, terdidik, dan kuat. Tak dapat dipungkiri suatu negara kuat merupakan negara yang mempunyai nilai-nilai toleransi yang tinggi, ini tentunya diimplementasikan oleh masyarakat yang terdidik, hal ini dapat menjadi pemicu terciptanya tatanan negara yang aman dan inklusif. Akibatnya, bisa berdampak pada peranan negara dalam dunia global.
Anthony Giddens memperkenalkan sophisticated multiculturalism (kemurnian multikulturalisme) yang di dalamnya terdapat penekanan terhadap poin-poin penting yaitu: identitas dan hukum nasional; kewajiban negara dalam memperkuat keberagaman suku bangsa; solidaritas sosial; komunikasi antar kelompok; rasa keberagaman; dan keseimbangan kewajiban dan kepedulian terhadap keberagaman etnik suku bangsa. Lebih lanjut Azyumardi Azra mengatakan bahwa multikulturalisme adalah cara pandang dunia yang diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan pada penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralistis, dan multikultural dalam masyarakat Juga dapat dipahami sebagai pandangan dunia yang diwujudkan dalam aktivitas politik (Azra: 2007).
Jadi, kebijakan multikulturalisme merupakan strategi jitu bagi pemerintah untuk mewujudkan negara yang damai dan sejahtera. Sebuah jawaban atas tantangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, semakin rumit, dan semakin modern diabad XXI ini. Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah menerapkan kebijakan ini? Perlukah dilembagakan (diformalkan dalam undang-undang) atau sudah cukup mengambil substansi dari Bhinekka tunggal ika? Tentunya, patut dikaji lebih dalam lagi dari berbagai sudut pandang.

Daftar Rujukan:
Azra, Ayjumardi, 2007. “Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia.”
Parekh, Bikhu, 2001. Rethinking Multiculturalism, Harvard. Dalam Ana Irhandayaningsih, “Kajian Filosofis terhadap Multikulturalisme Indonesia.”
Moh. Khuzai, Problem Definisi Gender: Kajian Atas Konsep Nature dan Nurture, Jurnal Studi Agama dan pemikiran Islam, KALIMAH, Vol. 11, No. 1, Maret Th. 2013.

You May Also Like

0 komentar