Makalah Kebudayaan Menurut Perspektif Simbolik-Interpretatif

by - 04.40

Kebudayaan Menurut Perspektif Simbolik-Interpretatif
Disusun Oleh:
Paelani Setia (1168030160)
State Islamic University 2017


KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung, Shalawat serta Salam tercurah limpah kepada baginda Nabi Besar Muhammad Saw, juga kepada keluarganya, para shahabatnya, pengikut dan orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.
Alhamdulillaah dengan segala syukur kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kebudayaan Dalam Perspektif Antropologi Simbolik-Interpretatif”. Makalah ini adalah hasil dari kesabaran dan perjuangan meskipun kami menyadari masih ada kekurangan di dalamnya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. H. Encup Supriatna, M.Si., selaku dosen mata kuliah Antropologi Sosial yang telah memberikan tugas ini kepada kami dan membantu kami sebagai penulis menyelesaikan makalah  ini. Dan tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah  ini dan bekerja sama menyusun makalah  ini.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas kelompok, menambah wawasan bagi para pembaca, memberikan gambaran tentang kebudayaan secara simbolik-interpretatif dalam masyarakat khususnya masyarakat Indonesia melalui penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Barat secara ringkas dan mudah dipahami. Kemudian, kami berharap para pembaca bisa mengambil pelajaran dan dan menambah wawasan para pembaca.
Semoga makalah ini bermanfaat dan bisa menjadi bahan evaluasi dan tolak ukur dalam makalah-makalah lainnya di masa yang akan datang. Mohon kritik dan sarannya. Terima kasih.
Penulis,







DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
D. Metode Penulisan 2
BAB II 4
PEMBAHASAN 4
A. Biografi Clifford Geertz 4
B. Konsep Greetz dalam Penelitiannya di Jawa 6
C. Pengertian Kebudayaan Menurut Perspektif Antropologi Simbolik-Interpretatif 8
D. Antropologi dalam Sudut Pandang Pelaku dan Kritik Terhadap Konsep Greetz 11
E. Contoh Kebudayaan Adat dalam Perspektif Simbolik-Interpretatif di Suku Sunda dalam Upacara Adat Perkawinan 13
BAB III 16
PENUTUP 17
A. Simpulan 17
B. Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 17


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna dimata Tuhan Yang Maha Esa, manusia diberikan akal yang lebih canggih daripada komputer sekalipun. Manusia dengan akal dan pikirannya mampu menciptakan segala sesuatu yang dia inginkan. Melalui evolusi yang sangat panjang, manusia mengalami berbagai perubahan dalam berbagai kehidupannya. Hal tersebut menjadikan manusia mengalami perubahan seiring dengan peradaban yang terjadi, perubahan tersebut ditandai dengan berbagai hal yang diciptakan olehnya sendiri. Hal yang dimaksud berupa berbagai ide, aktivitas, sampai dengan artefak yang ditinggalkan pada berbagai materi tertentu.
Manusia primitif mampu menciptakan kebudayaan yang primitif, begitupun manusia modern mampu menciptakan kebudayaan yang modern, sehingga kebudayaan selalu ada sesuai dengan tingkat peradaban manusianya. Seiring dengan berjalannya waktu, kebudayaan yang diciptakan oleh manusia sangat kompleks, dan majemuk. Kebudayaan pun yang awalnya hanya berdasar pada cipta, karsa, dan rasa berkembang menjadi suatu pengetahuan manusia yang dijadikan pedoman oleh dirinya dalam melakukan aktivitas tertentu.
Dalam suatu ilmu pengetahuan yang objeknya adalah manusia, tentunya tidak akan terlepas dari yang namanya interaksi. Manusia berinteraksi satu sama lain demi mendapatkan tujuannya masing-masing. Dalam berinteraksi, manusia tidak bisa dilepaskan dari yang namanya simbol-simbol. Simbol yang dimaksud adalah alat yang digunakan dalam berinteraksi dan berkomunikasi yang sudah ditetapkan oleh suatu kelompok tertentu. Begitupun kebudayaan, kebudayaan manusia tidak bisa dilepaskan dari simbol-simbol tertentu sebagai suatu syarat dalam mewujudkan cita-cita, dan tujuan dari kebudayaan tersebut.
Persoalan teoritis menjadi penghalang bagi adanya interpretasi kebudayaan dalam antropologi. Kebudayaan yang bercorak pada sistem pengetahuan dan makna yang menjadi definisi utama kebudayaan kompleks. Hal tersebut berdampak pada bagaimana cara untuk menerjemahkan sistem pengetahuan dan makna dari kebudayaan tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut, kami terinspirasi untuk membahas dan memecahkan solusi bagaimana kaitannya antara sistem pengetahuan dan makna dari kebudayaan manusia yang berkembang dimasyarakat. Makalah ini akan kami berikan judul Kebudayaan dalam Perspektif Antropologi Simbolik-Interpretatif.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang kami simpulkan, terdapat beberapa rumusan masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini, diantaranya yaitu:
1. Bagaimanakah biografi Clifford Greetz (Atropolog Amerika), hasil karyanya “The Religion of Java” dan konsepnya (Bujangan, Santri, Priyayi)?
2. Bagaimana pandangan kebudayaan dalam antropologi Simbolik-Interpretatif secara umum?
3. Bagaimana unsur utama dan elemen utama Antropologi Interaksi-Simbolik?
4. Bagaimanakah antropologi dalam sudut pandang pelaku?
5. Bagaimanakah bentuk contoh Antropologi Simbolik-interpretatif dalam masyarakat?
C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang kami simpulkan, terdapat beberapa tujuan yang kami harapkan dari makalah ini, diantaranya yaitu:
1. Mengetahui biografi Clifford Greetz (Antropolog Amerika), hasil karyanya “The Religion Of Java” dan konsepnya (Bujangan, Santri, Priyayi);
2. Mengetahui maksud pengertian Antropologi Simbolik-Interpretatif ;
3. Mengetahui unsur utama dan elemen utama Antropologi Interaksi-Simbolik;
4. Mengetahui antropologi dalam sudut pandang pelaku;
5. Mengetahui bentuk contoh Antropologi Simbolik-Interpretatif dalam masyarakat; dan
D. Metode Penulisan
Data-data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini berasal dari literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Referensi utama yang digunakan adalah buku umum Antropologi dan buku-buku lain yang bisa digunakan sebagai referensi tambahan. Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi yang didapatkan dari berbagai literatur kemudian disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang diperoleh. Penulisan diupayakan saling keterkaitan antara satu sama lain dan sesuai dengan topik yang dibahas.
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik bahasan. Kemudian dilakukan penyusunan penulisan makalah berdasarkan data yang telah dipersiapkan. Penyusunan penulisan makalah dilakukan secara sistematis, logis, dan analitis. Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah, tujuan penulisan, dan pembahasan. Simpulan yang ditarik mempresentasikan pokok bahasan makalah, dan didukung dengan saran praktis sebagai rekomendasi selanjutnya.




























BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Clifford Geertz
Clifford Geertz adalah penulis buku legendaris The Religion of Java, yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia, khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi—abangan, santri dan priyayi—di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama, khususnya Islam, dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Clifford Geertz dilahirkan di San Francisco, California, Amerika Serikat pada tanggal 23 Agustus 1926. Dia merupakan ahli antropologi budaya yang beberapa kali melakukan penelitian lapangan di Indonesia dan Maroko. Dia menulis esai tentang ilmu-ilmu sosial serta merupakan pelopor pendekatan “interpretif” dalam bidang antropologi.
Karir Geertz diawali dari dunia militer, dimana dia melayani Angkatan Laut Amerika selama Perang Dunia II. Adapun karir akademiknya dimulai ketika dia menerima gelar sarjana dalam bidang filsafat dari, Antioch College Ohio, pada tahun 1950. Dari Antioch ia melanjutkan studi antropolgi di Harvard University. Pada tahun keduanya di Harvard ini, ia bersama isterinya, Hildred, pergi ke Pulau Jawa dan tinggal di sana selama dua tahun untuk mempelajari masyarakat multi agama, multiras yang kompleks di sebuah kota kecil –Mojokuto. Setelah kembali ke Harvard, Geertz pada tahun 1956 memperoleh gelar doktor dari Harvard’s Departement of Social Relations dengan spesialisasi dalam antropologi.
Sebelum bergabung dengan Institute for Advanced Study, sebuah lembaga penelitian yang pernah menjadi rumah bagi para pemikir besar seperti Albert Einstein, Geertz mengajar di Universitas Chicago, sebagai profesor antropologi dan kajian perbandingan negara-negara baru. Ia juga pernah mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Oxford, dan sejak 1975 sampai 2000, ia menjadi profesor tamu di Universitas Princeton yang kampusnya hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Institute for Advanced Study. Tahun 2000, Geertz pensiun dari Institute for Advanced Study, tetapi tidak mengurangi produktifitasnya untuk terus menulis.
Adapun tema yang dibicarakan Geertz dalam berbagai esai dan buku yang telah diterbitkan meliputi seluruh spekturm kehidupan sosial manusia: dari pertanian, ekonomi, dan ekologi hingga ke pola-pola kekeluargaan, sejarah sosial, dan politik dari bangsa-bangsa berkembang; dari seni, estetika, dan teori sastra hingga ke filsafat, sains, tehnologi, dan agama. Namun begitu, perhatian utama Geertz lebih ditekankan pada pemikiran kembali secara serius terhadap hal-hal pokok di dalam praktek antropologi dan ilmu sosial yang lain—pemikiran kembali yang secara langsung berhubungan dengan usaha memahami agama.
Sebagai seorang antropolog, Clifford Geertz menjadi terkenal dan populer di Indonesia setelah melakukan penelitian di Jawa dan Bali, yang menghasilkan beberapa buku penting tentang Indonesia. Dan yang paling pokok, khususnya yang berkaitan dengan kajian Penulis, adalah kajiannya tentang agama Jawa dan politik aliran (abangan, santri dan priyayi).
Geertz adalah salah seorang generasi pertama Indonesianis yang selalu menaruh perhatian besar tentang perkembangan yang terjadi di Indonesia. Ia memang tak pernah memiliki murid dari Indonesia, tak seperti Indonesianis lain misalnya Daniel Lev atau Benedict Anderson yang telah menghasilkan banyak anak didik dari Indonesia. Tetapi, perhatian Geertz yang besar terhadap Indonesia sangat mempengaruhi perkembangan diskursus ilmu sosial di negeri ini.
Sebagaimana dituturkan oleh Ignas Kleden, Geertz telah menghabiskan waktu selama 10 tahun lebih dalam penelitian lapangan (di Jawa, Bali, dan Maroko) dan 30 tahun digunakannya untuk menulis tentang hasil-hasil penelitiannya, dengan tujuan menyampaikan pesona studi kebudayaan kepada orang-orang lain.
Clifford Geertz meninggal dunia di kediamannya di Pennsylvania, setelah menjalani operasi jantung di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, Pada hari Selasa tanggal 31 Oktober 2006 dalam usia 80 tahun dengan meninggalkan banyak karya penting seperti The Interpretation of Cultures, Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia, Available Light, Local Knowledge, Works and Lives: The Anthropologist as Author, After The Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist, The Religion of Java, Peddlers and Princes, The Social History of an Indonesian Town, Kinship in Bali, Negara: The Theater State in 19th Century Bali, danAgricultural Involution.
Geertz adalah seorang pakar Antropologi Amerika yang memperkenalkan perspektif baru di bidang antropologi untuk melengkapi beberapa perspektif sebelumnya, yaitu aliran struktural fungsional yang berkembang di Inggris melalui tokoh-tokohnya, seperti Bronislaw Malinowski dan Redelife Brown. Dan juga aliran evolusionis yang berkembang lebih dahulu sebelum aliran, struktural-fungsional memperoleh pengakuan akademis, dengan tokohnya, seperti Frazer, Tylor, dan Marert.

B. Konsep Greetz dalam Hasil Kesimpulan Penelitiannya di Jawa
1. Abangan
Pengertian abangan, abangan merupakan kaum atau kelompok orang yang berpenduduk asli jawa Muslim, akan tetapi memperaktikan versi lain yang lebih sinkritis di bandingkan dengan santri yang lebih pundamental. Golongan abangan pertamakali di gunakan oleh Clifford Geertz.
Kata abangan berasal dari bahasa Arab aba’an kata tersebut itu di sebut aba’an karenakan lidah orang jawa (barat) sulit untuk menyebutkan hurup ain, kata ain tersebut menjadi ngain yang artinya adalah yang tidak konsekuen atau meninggalkan. Kata tersebut dapat di simpulkan bahwa para ulama dulu memberikan suatu julukan kepada orang yang masuk Islam tetapi tidak menjalankan syariat (bahasa jawa= sarengat) dinamakan kaum aba’an atau abangan. Jadi abangan itu merupakan sebutan untuk golongan penduduk jawa Muslim yang mempraktikan Islam dengan versi yang lebih. Tradisi kaum abagan mengacu pada tradisi rakyat yang pokok animism, salah atu ciri abangan orang kaum abangan adalah sikap mangsa bodoh terhadap ajaran yang lebih menekankan terhadap aspek ritual-ritual upacara adat.
Karakteristik abangan
a. Upacara penyembahan roh halus;
b. Upacara cocok tanam;
c. Upacara tatacara pengobatan;
d. Upacara slametan;
e. Upacara sedekah bumi;
2. Santri
Pengertian santri, santri adalah sekelompok Muslim yang menjalankan syariat Islam dengan sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama, dan berusaha mrmbersihkan akidahnya dari perilaku syirik. Untuk menjadi seorang santri itu tidak mudah, kata tersebut biasa di sebut dengan santri tergantung pengertian orang itu sendiri, dan seseorang menganggap dirinya santri tidak dengan sendirinya, tetapi oleh orang lain.di daerah jawa kata santri di bagi menjadi beberapa kelompok yaitu diantaranya:
a. Santri leres;
b. Santri blikon;
c. Santri mari;
d. Santri blater; dan
e. Santri ulia.
Karakteristik santri:
a. Berasal dari desa;
b. Jiwa mandiri;
c. Belajar untuk dewasa; dan
d. Biasa memenej waktu.
Kebiasaan santri:
a. Menganji (kitab kuning atau tahfidz, dan lain-lain);
b. Menghapal; dan
c. Melakukan segala hal dengan kebersamaan,
3. Priyayi
Pengertian priyayi kata priyayi berasal dari kata para dan yayi yang berarti para adik, yang di sebut para disini yaitu adik raja, peiyayi berarti sebuah kelas sosial di masyarakat yang berasal dari bangsawan atau keturunan para raja. Kaum priyayi memiliki gelar kehormatan dan merupakan kaum elit dalam masyarakat tradisional tradisi kaum priyayi cenderung kearah mistik, aesitisme dan kesadaran akan pangkat.
C. Pengertian Kebudayaan Menurut Perspektif Antropologi Simbolik-Interpretatif
            Di Amerika, aliran struktural fungsional berkembang berkat karya Turner yang merupakan guru Clifford Geertz. Meskipun kemudian terdapat perbedaan di dalam perspektif antropologinya. Jika Turner lebih mengarah ke antropologi sosial sebagaimana aliran ini berkembang di Inggris, maka Geertz lebih masuk ke dunia budaya atau kajian antropologi budaya, terutama kajian-kajian tentang dinamis hubungan antara agama dan budaya. Di antara karya itu adalah the Religion of Java, Islam Observed, dan karya lain misalnya Religion as a Cultural System.
            Perspektif simbolik memang menjadi lahan baru di tengah berbagai aliran yang sudah ada sebelumnya dan dirasakan mengalami kejenuhan. Akan tetapi, perspektif ini sebagai kelanjutan tidak langsung dari perspektif fenomenologi-interpretatif di dalam kajian-kajian agama memiliki “kesamaan”, yaitu ingin memahami apa yang ada di balik fenomena. Ia tidak berhenti pada fenomena saja, tetapi bergerak menatap lebih mendalam pada dunia fenomena yang sering dikonsepsikan sebagai pemahaman interpretatif.
Kebudayaan adalah istilah yang kompleks. Begitu kompleksnya sehingga terdapat sangat banyak definisi tentang kebudayaan itu. Kluckholn, misalnya telah melakukan pelacakan terhadap sekian banyak pengertian tentang kebudayaan dan kemudian merangkumnya menjadi:
a. Keseluruhan cara hidup suatu masyarakat,
b. Warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya,
c. Suatu cara berpikir, merasa, dan percaya,
d. Suatu abstraksi dari tingkah laku,
e. Suatu teori pada pihak antropologi tentang cara suatu kelompok masyarakatnyatanya bertingkah laku,
f. Suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar,
g. Seperangkat orientasi-orientasi standar pada masalah yang sedang berlangsung,
h. Tingkah laku yang di pelajari,
i. Suatu mekanisme untuk penataantingkah laku yang bersifat normative,
j. Seperangkat teknik untuk menyesuaikan, baik dengan linkungan luar maupun dengan orang-orang lain
k. Suatu endapan sejarah.
Di dalam menedefinisikan kebudayaan, ahli antropologi simbolik tampaknya berbeda dengan aliran evolusionis yang mendefiniskan kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia atau kelakuan dan hasil kelakuan. Oleh karena itu, dalam perspektif simbolik, kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia. Kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut.
Kebudayaan, dengan demikian ialah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagaian pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai mahkluk sosial, yang isinya ialah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta menciptakan tindakan yang diperlukannya. Kebudayaan dalam konsepsi ini mengandung dua unsur utama, yaitu sebagai pola bagi tindakan dan pola dari tindakan. Sebagai pola bagi tindakan, kebudayaan ialah seperangkat pengetahuan manusia yang berisi model-model yang secara selektif digunakan untuk menginterpretasikan, mendorong, dan menciptakan tindakan atau dalam pengertian lain sebagai pedoman tindakan, sedangkan sebagai pola dari tindakan, kebudayaan ialah apa yang dilakukan dan dapat dilihat oleh manusia sehari-hari sebagai suatu yang nyata adanya atau dlam pengertian lain ialah sebagai wujud tindakan.
Secara cukup konsisten, Geertz memeberikan pengertian kebudayaan sebagai memiliki dua elemen, yaitu kebudayaan sebagai sistem kognitif serta sistem makna dan kebudayaan sebagai sistem nilai. Sistem kognitif dan sistem makna ialah representasi pola dari atau model of, sedangkan sistem nilai ialah representasi dari pola bagi atau model for. Jika “pola dari” adalah representasi kenyataan sebagaimana wujud nyata kelakuan manusia sehari-hari, maka “pola bagi” ialah representasi dari apa yang menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan tindakan itu contoh yang lebih sederhana adalah upacara keagamaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat merupakan pola dari, sedangkan ajaran yang diyakini kebenarannya sebagai dasar atau acuan melakukan upacara keaagamanadalah pola bagi atau model untuk.
Akan tetapi, kemudian mucul persoalan teoritis, bagaimana menghubungkan antar pola dari dan pola bagi atau sistem kognitif dengan sistem nilai, yaitu kaitan antara bagaimana menerjemahkan sistem pengetahuan dan makna menjadi sistem nilai atau menerjemahkan sistem nilai menjadi sistem pengetahuan dan makana. Oleh karena itu, secara cermat Geertz melihat hal itu terletak pada sistem simbol. Simbollah yang memungkinkan manusia menagkap hubungan dinamik antara dunia nilai dengan dunia pengetahuan. Jadi, menurut Geertz, kebudayaan pada intinya terdiri dari tiga hal uatama, yaitu sistem pengetahuan atau sistem kognitif, sistem nilai atau sistem evaluatif, dan sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan atau interpretasi. Adapun titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh symbol ialah yang dinamakan makna (system of meaning). Dengan demikian, melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah symbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan.
Untuk memahami budaya, seorang pengkaji tidaklah berangkat dari pikirannya sendiri, tetapi harus berdasar atas apa yang diketahui, dirasakan, dialami oleh pelaku budaya yang dikajinya atau disebut sebagai From The Native Point’s of View, yang merupakan hakikat dari pemahaman antropologis. Semenjak Malinowski, perdebatan metodologis mengenai dari mana memandang kebudayaan manusia telah dilakukan sehingga muncul istilah-istilah: perspektif “dalam” versus “luar”, deskripsi “orang pertama” versus “orang ketiga”, teori “phenomenology” versus “objektivistik”, atau teori “kognitif” versus “behavioral”, analisis “emic” versus “etik” yang memebela terhadap pemilihan ilmu-ilmu sosial, termasuk antropologi. Di dalam kerangka ini, Geertz mengambil posisis yang disebutnya sebagai, “melihat kenyataan dari sudut pandang pelaku”.
            Dalam konteks ini, kenyataan harus memaparkan apa yang dipahami oleh pelaku budaya maka berakibat terhadap pemaparan berbagai ungkapan tersebut secara panjang lebar, yang disebut sebagai thick description, atau deskripsi tebal yang berlawanan dengan thin description, yang disebut deskripsi ringkas. Lukisan mendalam yang dikerjakan oleh etnografi itu dalam sudut pandang buku teks ialah menerapkan hubungan, menyeleksi informan, mentranskip teks-teks, mengambil silsilah-silsilah, memetakan sawah-sawah, mengisi sebuah buku harian, dan sebagainya.
            Berangkat dari konsepsi tersebut, tulisan Geertz dalam beberapa karyanya merupakan pemaparan panjang lebar sebagai hasil wawancara mendalam atau observasi terlibat sehingga dapat menggambarkan secara mendalam berbagai peristiwa dan berikut makna-makna yang terkandung di dalamnya. Di dalam tulisannnya mengenai “Abangan, Santri, Priayi dalam Mayarakat Jawa” dan “Islam yang Saya Amati” lukisan mendalam sebagai sebuah deskripsi di dalam antropologi interpretatif itu sangat kentara.
D. Antropologi dalam Sudut Pandang Pelaku dan Kritik Terhadap Konsep Greetz
            Secara sengaja, makalah ini akan mencoba untuk menyoroti karya Greetz yang masih kental dengan lukisan mendalam karena di dalmnya berisi dekripsi rinci berbagai peristiwa yang terjadi pada lokus kajiannya.
            Dalam penelitiannya di Mojokuto, berdasarkan atas pandangan setempat menurut kepercayaan, keyakinan, preferensi etis, dan ideologi politik kiranya sangat jelas bahwa mereka itu terbagi menjadi tiga golongan yaitu, kaum abangan, santri, dan priyayi dengan ciri-ciri kebudayaan yang berbeda. Ketiga varian agama itu selanjutnya disebut sebagai The Religion of Java. Secara singkat dapat dinyatakan, kaum abangan ialah menekankan aspek-aspek animisme, sinkretisme secara keseluruhan, dan pada umumnya diasosiakan dengan unsur pedagang (dan juga unsur-unsur tertentu dari petani). Priayi yang menekankan aspek Hindu dan diaasosiakan dengan unsur birokrasi. Dengan kata lain, terdapat penekanan abangan ialah petani, santri ialah pedagang dan priayi ialah birokrat dengan masing-masing ciri kebudayaan yang dimilikinya.
            Pemilihan tiga konsepsi yang disebut sebagai agama Jawa, telah mengundang perdebatan yang sangat serius. Kekurang tepatan konsepsitualisasi trikotomi terletak pada pemilihan santri dan abangan ialah penggolongan “ketaatan beragama”, sedangkan priayi adalah “penggolongan sosial”. Untuk itu, tidak terpetakan adanya priayi yang santri dan juga ada priayi yang abangan. Varian seperti ini terlewatkan oleh Geertz karena pandangannya bahwa kebudayaan itu bersifat share atau milik publik. Akibatnya, ketika istilah abangan itu berada di dalam realitas empiris masyarakat Mojokuto terlepas apakah itu konsep denotatif atau referensi, maka konsep tersebut dicari hubungannya dengan kebanyakan kaum tani yang memiliki berbagai macam ritual seperti itu.
            Demikian pula, ketika melihat realitas empiris bahwa kebanyakan kaum santri berada di pasar yang mereka memiliki komunitas tersendiri dan berbeda dengan kaum abangan petani pedesaan maka konsepsi itu dianggap sebagai varian santri yang diselimuti oleh pandangan keislaman. Di sisi lain, kaum priayi yang sebenarnya tidak bisa dipadankan dengan dua kategori lainnya, juga secara riil ada dalam konsepsi orang Jawa dan dengan ciri-ciri pola bagi yang jelas. Kiranya, berdasar atas pandangan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang shared.
            Di antara pola konflik tersebut yang paling keras ialah melibatkan antara kaum abangan dan kaum santri, terlebih lagi ketika unsur politik masuk di dalamnya. Dalam salah satu contoh, peristiwa kematian yang dialami oleh anggota kaum abangan dan pada gilirannya kemudian dilakukan upacara pemakaman maka terdapat kesulitan pola bagi tindakan apa untuk menentukan upacara kematiannya. Persoalan menjadi rumit tatkala konflik historis dan aktual muncul di dalam proses pemakaman. Karman, sebagai tokoh Permai yang tak tahu harus berbuat apa, bertemu modin desa yang memegangi prinsip keyakinan keagamaan dan sekaligus juga memanfaatkan momentum untuk member pelajaran bagi orang seperti Karman, tokoh Permai yang tidak tahu banyak persoalan mendasar mengenai ajaran Permai yang menurut modin dianggapnya sebagai korban elit politik kota. Di tengah kebiusan itulah muncul Abu seorang santri muda yang menganjurkan diri untuk member keputusan tentang bagaimana memakamkan Paijan, anak tokoh Permai. Tindakan Abu pun telah memperoleh pembenaran dari pelayar, baik abangan maupun santri lainnya. Sampai kemudian datanglah orang tua si Paijan dan memperbolehkan pemakaman dengan cara Islam. Pemakaman pun dilakukan sesuai dengan tradisi ritual kematian Islam.
            Di dalam menganalisis upacara kematian ini, Geertz menggunakan konsepsi yang disebutnya sebagai fungsionalisme dinamis. Sebab ia ingin menjelaskan perubahan-perubahan sosial yang diakibatkan oleh konteks sosial ideologis. Baginya, pendekatan interpretative “kurang relevan” untuk dijadikan pisau analisis terhadap upacara pemakaman yang tidak normal seperti itu. Pendekatan fungsional dinamis tidak membedakan segi-segi kultural yang “bermakna logis” dari pola ritual itu, dan segi-segi structural sosial yang “kausal fungsional” sebab melalui pembedaan itu kiranya akan dapat dijadikan sebagai pisau analisis yang memadai. Melalui pisau analisis ini akan dapat diketahui sumber penyebab pemakaman yang kacau tersebut, yaitu sebuah ketidaksesuaian yang disebabkan oleh ketahanan sebuah sistem symbol religius yang disesuaikan dengan struktur sosial petani di sebuah lingkungan kota. Ada distingsi antara pola bagi tindakan atau teks-teks yang dijadikan sebagai pedoman di kalangan mereka. Sementara itu, Islam telah menyediakan pola tindakan bagi upacara pemakaman, dan ketika pola itu ditentang oleh entitas lai yang menginginkan perubahan, dan sementara itu pola tindakan bagi keinginan berubah tersebut belum didapatkan atau bahkan tidak ada maka di situlah terjadi kesenjangan interaksi. Namun demikian, di tengah kegalauan itu akhirnya ditemukan jalan keluar yang sekuarang-kurangnya memuaskan semua pihak.
E. Contoh Kebudayaan Adat dalam Perspektif Simbolik-Interpretatif di Suku Sunda dalam Upacara Adat Perkawinan
Secara kronologis upacara adat perkawinan dapat diurut mulai dari adat sebelum akad nikah, saat akad nikah dan sesudah akad nikah. Perspektif simbolik-interpretatif dalam adat Sunda ini adalah adanya ritual-ritual khusus yang mempunyai makna dan nilai tertentu yang dipercayai masyarakat.
Simbol yang biasanya digunakan dalam upacara adat Sunda ini adalah bahasa Sunda itu sendiri, bahasa menjadi pengantar yang istimewa di kalangan masyarakat Sunda karena memiliki tingkatan tertentu. Yaitu, lemes, sedeng, dan kasar. Bahasa untuk pengantar suatu upacara adalah bahasa Sunda campuu (lemes, sedeng, kasar). Interpretasi yang bisa disiratkan dari upacara adat ini adalah bentuk rasa syukur seseorang terhadap tujuan yang akan dicapai oleh sepasang calon mempelai yang akan menikah. Makna lain adalah menghormati nenek moyang mereka yang sudah meninggal, pamali apabila melanggar atau tidak menjalankan kebiasaan turun-temurun nenek moyangnya, serta bentuk kebersamaan sesame masyarakat terdekat dalam bentuk pesta adat yang sakral.
1. Upacara Sebelum Akad Nikah
a. Neundeun Omong: Yaitu kunjungan orang tua jejaka kepada orang tua si gadis untuk bersilaturahmi dan menyimpan pesan bahwa kelak anak gadisnya akan dilamar.
Ngalamar: Nanyaan atau nyeureuhan yaitu kunjungan orang tua jejaka untuk meminang/melamar si gadis, dalam kunjungan tersebut dibahas pula mengenai rencana waktu penikahannya. Sebagai acara penutup dalam ngalamar ini si pelamar memberikan uang sekedarnya kepada orang tua si gadis sebagai panyangcang atau pengikat, kadang-kadang dilengkapi pula dengan sirih pinang selengkapnya disertai kue-kue & buah-buahan. Mulai saat itu si gadis telah terikat dan disebut orang bertunangan.
b. Seserahan: Yaitu menyerahkan si jejaka calon pengantin pria kepada calon mertuanya untuk dikawinkan kepada si gadis. Pada acara ini biasa dihadiri oleh para kerabat terdekat, di samping menyerahkan calon pengantin pria juga barang-barang berupa uang, pakaian, perhiasan, kosmetik dan perlengkapan wanita, dalam hal ini tergantung pula pada kemampuan pihak calon pengantin pria. Upacara ini dilakukan 1 atau 2 hari sebelum hari perkawinan atau adapula yang melaksanakan pada hari perkawinan sebelum akad nikah dimulai.
c. Ngeuyeuk Seureuh: Artinya mengerjakan dan mengatur sirih serta mengait-ngaitkannya. Upacara ini dilakukan sehari sebelum hari perkawinan, yang menghadiri upacara ini adalah kedua calon pengantin, orang tua calon pengantin dan para undangan yang telah dewasa. Upacara dipimpin oleh seorang pengetua, benda perlengkapan untuk upacara ini seperti sirih beranting, setandan buah pinang, mayang pinang, tembakau, kasang jinem/kain, elekan, dll semuanya mengandung makna/perlambang dalam kehidupan berumah tangga. Upacara ngeuyeuk seureuh dimaksudkan untuk menasihati kedua calon mempelai tentang pandangan hidup dan cara menjalankan kehidupan berumah tangga berdasarkan etika dan agama, agar bahagia dan selamat. Upacara pokok dalam adat perkawinan adalah ijab kabul atau akad nikah.
2. Upacara Adat Akad Nikah
Upacara perkawinan dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam agama Islam dan adat. Ketentuan tersebut adalah: adanya keinginan dari kedua calon mempelai tanpa paksaan, harus ada wali nikah yaitu ayah calon mempelai perempuan atau wakilnya yang sah, ada ijab kabul, ada saksi dan ada mas kawin. Yang memimpin pelaksanaan akad nikah adalah seorang Penghulu atau Naib, yaitu pejabat Kantor Urusan Agama.
Upacara akad nikah biasa dilaksanakan di Mesjid atau di rumah mempelai wanita. Adapun pelaksanaannya adalah kedua mempelai duduk bersanding diapit oleh orang tua kedua mempelai, mereka duduk berhadapan dengan penghulu yang di kanan kirinya didampingi oleh 2 orang saksi dan para undangan duduk berkeliling. Yang mengawinkan harus wali dari mempelai perempuan atau mewakilkan kepada penghulu. Kalimat menikahkan dari penghulu disebut ijab, sedang sambutan dari mempelai pria disebut qobul (kabul). Setelah dilakukan ijab-qobul dengan baik selanjutnya mempelai pria membacakan talek, yang bermakna ‘janji’ dan menandatangani surat nikah. Upacara diakhiri dengan penyerahan mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita.
3. Upacara Adat Sesudah Akad Nikah
a. Munjungan/Sungkeman: Yaitu kedua mempelai sungkem kepada kedua orang tua mempelai untuk memohon do’a restu.
b. Upacara Sawer (Nyawer): Perlengkapan yang diperlukan adalah sebuah bokor yang berisi beras kuning, uang kecil (receh) /logam, bunga, dua buah tektek (lipatan sirih yang berisi ramuan untuk menyirih), dan permen. Pada pelaksanaannya kedua mempelai duduk di halaman rumah di bawah cucuran atap (panyaweran), upacara dipimpin oleh juru sawer. Juru sawer menaburkan isi bokor tadi kepada kedua pengantin dan para undangan sebagai selingan dari syair yang dinyanyikan olehnya sendiri. Adapun makna dari upacara nyawer tersurat dalam syair yang ditembangkan juru sawer, intinya adalah memberikan nasehat kepada kedua mempelai agar saling mengasihani, dan mendo’akan agar kedua mempelai mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam membina rumah tangganya, hidup rukun sampai diakhir hayatnya.
c. Upacara Nincak Endog: atau upacara injak telur yaitu setelah upacara nyawer kedua mempelai mendekati tangga rumah, di sana telah tersedia perlengkapan seperti sebuah ajug/lilin, seikat harupat (sagar enau) berisikan 7 batang, sebuah tunjangan atau barera (alat tenun tradisional) yang diikat kain tenun poleng, sebuah elekan, sebutir telur ayam mentah, sebuah kendi berisi air, dan batu pipisan, semua perlengkapan ini mempunyai perlambang. Dalam pelaksanaannya lilin dinyalakan, mempelai wanita membakar ujung harupat selanjutnya dibuang, lalu mempelai pria menginjak telur, setelah itu kakinya ditaruh di atas batu pipisan untuk dibasuh air kendi oleh mempelai wanita dan kendinya langsung dihempaskan ke tanah hingga hancur. Makna dari upacara ini adalah menggambarkan pengabdian seorang istri kepada suaminya.
d. Upacara Buka Pintu: upacara ini dilaksanakan setelah upacara nincak endog, mempelai wanita masuk ke dalam rumah sedangkan mempelai pria menunggu di luar, hal ini menunjukan bahwa mempelai wanita belum mau membukakan pintu sebelum mempelai pria kedengaran mengucapkan sahadat. Maksud upacara ini untuk meyakinkan kebenarannya beragama Islam. Setelah membacakan sahadat pintu dibuka dan mempelai pria dipersilakan masuk. Tanya jawab antara keduanya dilakukan dengan nyanyian (tembang) yang dilakukan oleh juru tembang.
e. Upacara Huap Lingkung: Kedua mempelai duduk bersanding, yang wanita di sebelah kiri pria, di depan mempelai telah tersedia adep-adep yaitu nasi kuning dan bakakak ayam (panggang ayam yang bagian dadanya dibelah dua). Mula-mula bakakak ayam dipegang kedua mempelai lalu saling tarik menarik hingga menjadi dua. Siapa yang mendapatkan bagian terbesar dialah yang akan memperoleh rejeki besar diantara keduanya. Setelah itu kedua mempelai huap lingkung, saling menyuapi. Upacara ini dimaksudkan agar kedua mempelai harus saling memberi tanpa batas, dengan tulus dan ikhlas sepenuh hati.
Sehabis upacara huap lingkung kedua mempelai dipersilakan duduk di pelaminan diapit oleh kedua orang tua mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para undangan (acara resepsi).













BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Clifford Greetz adalah seorang antropolog dari amerika, kecintaannya terhadap antropologi membawanya untuk meneliti masyarakat yang ada di Indonesia, yaitu di Mojokuto, Jawa Timur. Selama puluhan tahun ia melakukan penelitian yang akhirnya ia tuliskan dalam berbagai karyanya. Salah satu karya terbesarnya adalah buku The Religion of Java sebagai hasil penelitiannya di daerah Mojokuto tersebut. Buku ini mengambil konsep terbesarnya yaitu tritonomi—abangan, santri, dan priyayi.
Kebudayaan dalam antropologi simbolik-interpretatif memandang bahwa kebudayaan bukan hanya hasil karsa, cipta, ataupun rasa, melainkan sebuah konsep keseluruhan pemikiran manusia yanag dijadikan sebagai pedoman atau penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia. Kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut.
Antropologi simbolik-interpretatif mengusung konsep seluruh pengetahuan yang yang dipunayi oleh manusia sebagai makhluk sosial. Unsur utama konsepnya adalah sebagai pola bagi tindakan dan pola dari tindakan. Sedangkan elemen utama konsepnya adalah model of dan model for. Unsur dan konsep ini digunakan untuk menjelaskan sejauh mana kebudayaan dalam perspektif antropologi simbolik-interpretatif.
Dalam hal sudut pandang pelaku, terkadang konsep pengetahuan saja tidak cukup ketika menghadapi perubahan social-budaya yang ada di masyarakat. Perlu adanya perbedaan sudut pandang seseorang dengan berbagai perbedaan psikologis yang ada. Misalnya, dalam hal konsep abangan, santri, dan priyayi tidak semuanya cocok penerapannya, karena tiga unsur tersebut berbeda khususnya dalam hal agama. Kaum abangan condong ke agama Hindu dan percaya akan mitos-mitos leluhur, sedangkan santri jelas merupakan golongan anak muda yang mengeyam ilmu agama Islam di pondok pesantren. Begitupun priyayi yang maayoritasnya adalah turunan dari raja-raja yang pernah berkuasa.
Apabila menitik beratkan pada kebudayaan saat ini susah sebetulnya, faktor utamanya adalah reformasi budaya yang cenderung dilupakan dan hamper punah. Namun ada segelintir budaya yang masih dilestarikan oleh sebagian masyarakat, diantaranya oleh masyarakat suku Sunda, Jawa Barat. Ada berbagai tradisi yang mengacu pada pengetahaun manusia sebagai pendorong pelaksanaan upacara pernikahan. Upacara tersebut juga menggunakan symbol tertentu ebagai bagian dari adanya interaksi di masyarakat, sehingga menghasilkan makna tertentu yang terus di jaga oleh masyarakat.
B. Saran
Kebudayaan menurut perspektif antropologi simbolik-interpretatif menitikberatkan pada adanya pengetahuan manusia sebagai unsur utama, hal tersebut mungkin saja tidak disetujui oleh masyarakat tertententu yang yakin dan sadar akan adanya campur tangan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pemberi kebudayaan yang sesungguhnya. Sangat riskan memang apabila kita memahami konsep abangan, santri, dan priyayi, yang mana sangat kontras sekali berbeda secara gamblang. Sehingga adanya konflik moral agama dan budaya tertentu.


DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981
Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press, Cet. II, 1987
Strauss, Anselm & Corbin, Juliet, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif; Prosedur, Tehnik, dan Teori Grounded, terj. Djunaidi Ghony, Surabaya: Bina Ilmu, 1997.
Muchtarom, Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002
Syam, Nur. 2012. Mahzab-Mahzab Antroplogi. Yogyakarta: LkiS Group.

You May Also Like

0 komentar