Tidak Mau mendengarkan Berakibat Mudah Lupa!

by - 01.28


         Telah dilakukan penelitian ilmiah tentang mendengar dan perannya dalam peningkatan kerja dan produktivitas. Penelitian ini ditujukan kepada beberapa direktur dan manajer perusahaan-perusahaan besar di wilayah Chicago, Amerika Serikat. Penelitian ini menghasilkan satu kesimpulan, yaitu tidak adanya perhatian para pemimpin untuk mendengarkan dengan baik, ketika berkomunikasi dengan bawahan-bawahan mereka.
Kemudia dilakukan eksperimen dan tes kepada ribuan anak didik dan ratusan bisnisman dan orang-orang professional, yang dilakukan di Universitas Minnesota, Amerika. Teknik pelaksaan tes itu berupa seorang diminta mendengarkan uraian singkat dari seorang  dosen. Kemudian orang yang mendengar tersebut ditanya tentang apa yang telah didengarnya. Hasil general yang didapatkan oleh tes tadi—dan dikuatkan pula oleh laporan penelitian oleh Universitas Florida dan Mchigan, setelah itu—menyimpulkan bahwa manusia normal hanya bisa mengingat setengah dari apa yang di dengarnya dan tidak banyak menaruh perhatian kepada cara mendengar. Manusia normal hanya bisa mengingat 25% dari apa yang di dengarnya setelah lewat dua bulan.
Penelitian-penelitian ilmiah juga membuktikan bahwa manusia normal akan melupakan setengah sampai sepertiga dari apa yang telah ia dengar hanya dalam waktu 8 jam setelah berlalunya, dan apa yang di dengarnya dan setengah sampai sepertiganya dalam waktu yang sesingkat dilupakannya ini, kuantitasnya melebihi kuantitas pembicaraan yang akan ia lupakan dalam waktu 6 bulan kedepan.
Perlu untuk di perhatikan, bahwa mayoritas pakar ilmu komunikasi, pendidikan, dan sosial berpendapat bahwa mendengar dengan baik adalah suatu keterampilan yang bisa diperoleh pendidikan dan latihan sistem pendidikan dan program-program latihan pengembangan sumber daya manusia harus memperhatikan hal tersebut. Mereka mengkritik sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang hanya bisa menghasilkan lulusan-lulusan yang pandai berkomentar dan bicara, namun tidak tahu bagaimana mendengarkan orang lain dengan baik. Padahal masyarakat lebih membutuhkan orang yang menguasai keahlian mendengar dengan baik daripada orang yang pandai berkomentar dan banyak bicara.
Telah terbukti, bahwa pendengar yang baik, bukan selalu orang yang bodoh, karena tidak ada bedanya antara orang yang pandai dan kurang pandai dalamhal ini. Kemampuan mendengar orang lain tidak terkait sama sekali dengan kepandaian. Namun ia terkait dengan keterampilan-keterampilan tertentu yang bisa didapatkan melalui latihan dan percobaan. Keahlian-keahlian inilah yang menentukan kemampuannya untuk mendengar dengan baik.
Sebagaimana terbukti bahwa mayoritas manusia lebih banyak mengalami kesulitan memusatkan perhatian ketika mendengarkan orang lain daripada ketika berbicara atau mengekspresikan dengan raut muka dan bahasa tubuh. Kesulitan itu mengacu kepada fakta ilmiah yang mengatakan. “Sesungguhnya kita lebih cepat berpikir daripada berbicara.” Terbukti bahwa disaat kita mendengarkan orang lain, maka pikiran kita bekerja secara terus menerus dan mengalir dengan sangat cepat, sedangkan pada waktu yang sama, kata-kata yang diucapkan seseorang, prosesnya sedikit lebih lambat.”
Demikianlah, melalui penelitian yang intensif dan cukup lama yang dilakukan oleh para ilmuwan tentang kebiasaan mendengar pada setiap orang, mereka mendapatkan bahwa pendengar yang baik melakukan empat aktivitas otak dalam sebuah hubungan yang harmonis dan rapi. Setiap aktivitas tersebut berhubungan dengan orang yang lain sesuai dengan pembicaraan yang dipahami. Orang-orang yang mendengar memfokuskan pikiran terhadap pesan yang mereka terima dan hanya menyisakan waktu sedikit bagi akal untuk bermain-main di lorong-lorong pikiran. Empat aktivitas otak tersebut adalah:
1. Memikirkan pembicara secara langsung, mengasumsikan hasil-hasil pembicaraan dan mengira-ngira kesimpulannya.
2. Menimbang argumen dan bukti yang digunakan pembicara untuk mendukung ide-idenya.
3. Menampakkan dan merangkum secara langsung poin-poin pembicaraan terakhir.
4. Menerangkan kesesuaian pembicaraan dengan makna-makna yang tidak diungkapkan oleh kata-kata yang diucapkan. Hal itu dengan meneliti simbol-simbol hubungan, seperti ekspresi raut wajah, irama suara dan seterusnya.
Oleh karena itu, bila dibandingkan dengan kecepatan berbicara yang lain, kecepatan berpikir kita masih cukup memberikan kesempatan untuk melakukannya, butuh latihan-latihan, sebelum proses ini menjadi bagian aktivitas akal seseorang dan memberikan kemampuan mendengar yang baik padanya.  
Hasil-hasil penelitian juga membuktikan bahwa memahami ide, pikiran, atau konsepsi adalah suatu keterampilan yang merupakan karakter seseorang pendengar yang baik. Agar seseorang bisa memahami pikiran-pikiran orang lain, ia harus mengingat fakta-fakta yang darinya pikiran tersebut disimpulkan, sebagaimana pula agar dia dapat mengingat fakta-fakta dengan baik, dia juga harus memahami pikiran-pikiran orang lain.
Sebagaimana terbukti, bahwa kita hanya mendengar apa yang ingin kita dengarkan dan berpaling dari apa yang tidakingin kita dengarkan.
Ketika seseorang berbicara tentang tema yang disenangi oleh pendengar atau menarik perhatiannya, maka pendengar—dengan tanpa sadar—menerima begitu saja segala hal yang disampaikan oleh pembicara, seperti fakta-fakta, fakta yang belum lengkap, bahkan ilusi dan hayalan. Ini artinya, di saat seperti itu unsur perasaan dan emosilah yang menjadi filter dan penyeleksi kata-kata.
Dari sini, para ilmuwan menemukan bahwa otak pendengar yang baik akan bekerja dalam arah yang berlawanan, ketika ia mendengar sesuatu yang bertentangan dengan visi, orientasi, akhlak dan tujuan atau mentalnya. Ketika seseorang mendengar perkataan yang sesuai dengan perasaan dan hawa nafsunya dia mendapatkan kenikmatan dan kesenangan dalam mendengarkannya. Dia akan menerima segala sesuatu dengan senang hati. Jiwanya memberikan cuti kepada kemampuan-kemampuan kritis dan penolakan, karena apa yang di dengarnya mendapatkan sambutan dan respon positif dalam dirinya. Oleh karena itu, para pakar memberikan nasihat, agar tidak terburu-buru dalam memvonis ketika seseorang sedang berbicara. Hal ini menuntut adanya control diri. Pada awalnya, hal ini sangat sulit. Namun dengan kemauan yang keras dan instrospeksi diri hal itu dapat diwujudkan. Demikian pula, penelitian tersebut memberikan nasihat tentang pentingnya memahami semua bagian pembicaraan dan menahan diri dari memberi penilaian final. Setelah semua bagian pembicaraan diungkapkan dan menilainya secara netral, barulah seseorang dapat mengungkapkan vonisnya.
Para ilmuwan yang tergabung dalam penelitian ini menyatakan, jika kita melatih akal kita untuk mencari ide-ide yang membuktikan kesalahan kita, seperti halnya kita melatihnya untuk mencari ide-ide yang mendukung kebenaran kita, maka kita akan jarang sekali bisa bersikap mengabaikan apa yang disampaikan orang lain kepada kita.

You May Also Like

0 komentar