Makalah Akhlak dalam Thaharah atau Bersuci

by - 21.28

MAKALAH AKHLAK DALAM THAHARAH
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung, Shalawat serta Salam tercurah limpah kepada baginda Nabi Besar Muhammad Saw, juga kepada keluarganya, para shahabatnya, pengikut dan orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.
Alhamdulillaah dengan segala syukur kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Akhlak dalam Thaharah”. Makalah ini adalah hasil dari kesabaran dan perjuangan meskipun kami menyadari masih ada kekurangan di dalamnya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. Bukhori, M.Ag., selaku dosen mata kuliah Ilmu Akhlak yang telah memberikan tugas ini kepada kami dan membantu kami sebagai penulis menyelesaikan makalah  ini. Dan tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah  ini dan bekerja sama menyusun makalah  ini.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas kelompok, menambah wawasan bagi para pembaca, memberikan gambaran tentang etika dan akhlak dalam bersuci khususnya perilaku thaharah yang baik dan benar menurut Al-Quran dan As-Sunnah secara ringkas dan mudah dipahami. Kemudian, kami berharap para pembaca bisa mengambil pelajaran dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari serta mengamalkannya.
Semoga makalah ini bermanfaat dan bisa menjadi bahan evaluasi dan tolak ukur dalam makalah-makalah lainnya khususnya bagi mata kuliah Ilmu Akhlak di masa yang akan datang. Mohon kritik dan sarannya. Terima kasih.
Penulis,

Kelompok 9


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 2
A. Latar Belakang Masalah 2
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
D. Metode Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Pentingnya Thaharah terhadap Kebersihan, Kesehatan, dan Lingkungan 2
B. Pengertian Thaharah 2
C. Akhlak dan Etika Berthaharah 2
D. Cara Bersuci dari Najis, Pakaian, dan Tempat 2
E. Alat Untuk Bersuci 2
F. Hadas dan Cara Mensucikannya 2
G. Hikmah Thaharah 2
BAB III PENUTUP 2
A. Kesimpulan 2
B. Saran 2
DAFTAR PUSTAKA 2



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perhatian Islam atas akhlak dan etika khususnya dalam bersuci adalah hakiki dan maknawi— merupakan bukti otentik tentang konsistensi Islam atas kesucian dan kebersihan. Dan bahwa Islam adalah peri hidup yang paling unggul dalam urusan keindahan dan kebersihan.
Dalam setiap bab fiqh, para fuqaha selalu membahas thaharah pada awal bab. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kebersihan atau kesucian dalam Islam. Seseorang tidak memenuhi syarat untuk beribadah saat ia memiliki hadas. Ia pun tidak dapat beribadah saat pakaian atau tempat yang akan dilaksanakannya peribadahan terkenan najis. Karena urgensinya dalam penegakkan tiang-tiang diin ini. Rasulullah Saw. bersabda tentang thaharah, “ath-Thahur (suci) itu sebagian dari Iman”. (HR. Muslim)
Thaharah memiliki urgensi yang sangat besar dalam Islam, baik yang hakiki, seperti kesucian pakaian, tubuh dan tempat ibadah (shalat) dari najis, maupun yang hukmi, yaitu sucinya anggota wudlu dari hadas dan seluruh badan dari janabat. Hal ini dikarenakan thaharah merupakan syarat wajib yang harus senantiasa terwujud demi kesahihan shalat yang minimal dilaksanakan lima kali dalam sehari semalam. Disamping itu mengingat mendirikan shalat berarti berdiri di hadapan Allah SWT, maka melakukan thaharah berarti mengagungkan-Nya. Dengan demikian, melakukan thaharah berarti menyucikan ruh dan jasad sekaligus. Islam menempatkan kebersihan atau kesucian sebagai sesuatu yang sangat penting, umpamanya saja kesahihan shalat ditentukan oleh kesucian.
Ungkapan “Bersih pangkal sehat” mengandung arti betapa pentingnya kebersihan bagi kesehatan manusia, baik perorangan, keluarga, masyarakat, maupun lingkungan. Begitu pentingnya kebersihan menurut Islam, sehingga orang yang membersihkan diri atau mengusahakan kebersihan akan dicintai oleh Allah SWT. Ajaran kebersihan dalam agama Islam berpangkal atau merupakan konsekuensi dari iman kepada Allah, berupaya menjadikan dirinya suci/bersih supaya berpeluang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, kebersihan dalam Islam mempunyai aspek ibadah dan aspek moral atau akhlak.
Disamping itu, tahaharah dapat melindungi lingkungan dan masyarakat dari penjalaran penyakit, kelemahan, dan kelumpuhan, karena ia mencuci anggota badan yang lahir dan senantiasa akrab dengan debu, tanah, dan kuman-kuman sepanjang hari. Kemudian memandikan seluruh badan setiap sehabis janabat juga cukup penting untuk melindungi badan dari berbagai kotoran, dan secara medis dapat dibuktikan bahwa upaya pencegahan penyakit adalah kebersihan. Pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan.
Thaharah merupakan hal yang sangat penting, tetapi dalam pelaksanaannya di masyarakat urgensi thaharah cenderung diabaikan. Misalnya, dalam hal pemahaman najis dan cara membersihkannya, masih ada masyarakat yang menganggap sama antara air kencing bayi laki-laki dan perempuan. Ada juga yang beranggapan bahwa air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan bukan termasuk najis. Padahal dalam pembahasan kitab fiqh jelas disebutkan bahwa kencing bayi laki-laki dan perempuan termasuk najis, serta berbeda tingkatan najis antara keduanya dan cara membersihkannya pun harus sesuai tingkatan najis tersebut.
Dewasa ini terlihat gejala-gejala kemerosotan moral dan akhlak. Secara pasti kiranya agak sukar menentukan faktor-faktor apakah yang menjadi penyebabnya. Hal tersebut menyebabkan ketimpangan pada umat Islam, tanpa terkecuali dengan perilakunya yang menyebabkan dirinya kotor secara lahiriyah (raga) dan batiniyah (jiwa).  Akhlak merupakan nilai terpenting dalam kehidupan, akhlak menjadi salah satu unsur utama peradaban dan dasar kemanusiaan. Islam telah menekankan urgensi akhlak menjadikannya sebagai salah satu keutamaan paling penting yang harus dimiliki oleh setiap muslim dalam kehidupannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pentingnya thaharah terhadap kebersihan, kesehatan, dan keindahan lingkungan?
2. Apa yang dimaksud thaharah?
3. Bagaimana akhlak dan etika dalam berthaharah?
C. Tujuan
1. Memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Akhlak;
2. Mengetahui pentingnya thaharah terhadap kebersihan, kesehatan, dan keindahan lingkungan;
3. Mengetahui pengertian thaharah;
4. Mengetahui akhlak dan etika dalam thaharah.
D. Metode Penulisan Makalah
Data-data yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku tentang Akhlak dan Tasawuf, dan artikel ilmiah yang bersumber dari media lainnya seperti majalah dan internet. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian. Kemudian dilakukan penyusunan karya tulis (makalah) berdasarkan data yang telah dipersiapkan secara logis dan sistematis. Teknik analisis data bersifat deskriptif argumentatif.
Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah, tujuan penulisan, serta pembahasan. Simpulan yang ditarik mempresentasikan pokok bahasan makalah, serta didukung dengan saran praktis sebagai rekomendasi selanjutnya.


















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pentingnya Thaharah terhadap Kebersihan, Kesehatan, dan Lingkungan
Kata bersih sering diungkapkan untuk menyatakan keadaan lahiriyah suatu benda, seperti air bersih, tangan bersih dan sebagainya. Terkadang kata bersih memberikan pengertian suci, seperti air suci. Tetapi bisa kata suci bisa digunakan untuk untuk ungkapan sifat batiniyah, seperti jiwa suci. Dalam hukum Islam setidaknya ada tiga yang menyatakan kebersihan yaitu  : 1) Nazhafah dan Nazif, yaitu bersih dari kotoran dan noda lahiriyah, dengan alat pembersihnya benda yang bersih seperti air; 2) Thaharah, yaitu mengandung pengertian yang lebih luas meliputi kebersihan lahiriyah dan batiniyah; dan 3) Tazkiyah (penyucian),   mengandung arti ganda yaitu membersihkan diri dari sifat atau perbuatan tercela dan menumbuhkan atau memperbaiki jiwa dengan sifat-sifat yang terpuji.
Dalam syariat Islam, pelaksanaan thaharah dapat membawa kebersihan lahir dan batin. Orang yang bersih secara syara’ akan hidup dalam kondisi sehat. Karena hubungan antara kebersihan dan kesehatan sangat erat. Dalam suatu pepatah dikatakan, “Kebersihan pangkal kesehatan”. Di samping itu, thaharah juga dapat melindungi lingkungan dan masyarakat dari penularan penyakit, kelemahan, dan kelumpuhan, karena thaharah mencuci anggota badan yang lahir dan senantiasa akrab dengan debu, tanah, dan kuman-kuman sepanjang hari. Begitu pentingnya kebersihan menurut Islam, sehingg orang yang membersihkan diri atau mengusahakan kebersihan akan dicintai oleh Allah SWT, sebagaimana dalam firman-Nya:
... إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci (QS. al-Baqarah/2: 222)
Syariat Islam mengajarkan beragam thaharah, Umat Islam dalam thaharah disyariatkan beristinja’, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, menggosok gigi (siwak), mencukur rambut dan lain-lain. Seluruh kegiatan ini mewujudkan kebersihan lahiriyah sekaligus mengantisipasi kedatangan penyakit. Kemudian, untuk melaksanakan shalat, dan ibadah ghairu madhdah lainnya, orang Islam diwajibkan berwudlu.  Wudlu disamping membersihkan lahiriyah juga membersihkan diri secara batiniyah, karena shalat merupakan pendekatan diri kepada Allah SWT yang menuntut kebersihan lahir dan batin.
Selain itu, thaharah mempunyai implikasi terhadap keindahan lingkungan. Ada tiga lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu lingkungan alam, lingkungan manusia, dan lingkungan keluarga. Lingkungan alam adalah alam yang berada di sekitar kita. Lingkungan manusia adalah orang-orang yang melakukan interaksi dengan kita baik langsung, maupun tidak langsung, dan dalam skala yang lebih kecil lagi adalah lingkungan keluarga yang sangat mempengaruhi kehidupan seseorang terutama pada masa awal-awal kehidupannya.  

B. Pengertian Thaharah
Menurut bahasa, thaharah berarti bersih atau suci dari segala kotoran yang nyata seperti najis maupun yang tidak nyata seperti aib. Menurut syariat thaharah berarti, melakukan sesuatu agar di izinkan shalat atau hal-hal lain yang sehukum dengannya, seperti wudlu, mandi wajib, dan menghilangkan najis dari pakaian, tubuh, dan tempat shalat (Al-Maidah: 6). Thaharah berarti bersih, yaitu kondisi seseorang yang bersih dari hadas dan najis sehingga layak untuk melakukan kegiatan ibadah seperti shalat.   Thaharah atau bersuci bertujuan untuk menyucikan badan dari najis dan hadas. Sedangkan hadas adalah kondisi dimana seseorang yang miliknya wajib wudlu atau mandi.
Thaharah merupakan masalah yang sangat penting di dalam agama Islam dan menjadi syarat seseorang yang hendak berhubungan dengan Allah melalui shalat, tawaf, dan sebagainya.
Kesucian dalam ajaran Islam dijadikan syarat sahnya sebuah ibadah, seperti shalat, thawaf, dan sebagainya. Bahkan manusia sejak lahir hingga wafatnya juga tidak bisa lepas dari masalah kesucian. Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa berthaharah adalah sebuah kewajiban.
Dalam sebuah hadis:
الطُّهُوْرُ شَطْرُ اْلإِيمْاَنِ
            “Kesucian itu sebagian dari iman.”
Secara umum ruang lingkup thaharah ada dua; yakni membersihkan najis (istinja’) dan membersihkan hadas. Dari masing-masing ruang lingkup akan diperinci lagi. Dalam istinja’ akan dibahas mengenai benda najis, bahan untuk membersihkan najis, dan cara membersihkan najis. Sementara pada sub bab membersihkan hadas akan dibahas mengenai hadas, cara membersihkan hadas, yang diantaranya adalah mandi, wudlu dan tayamum. Allah berfirman: “Dialah yang meniupkan angina sebagai pembawa kabar gembira, dekat dengan sebelum kedatangan rahmatnya (hujan) dan kami turunkan air dari langit yang bersih. (QS. Al-Furqan: 48). Imam az-Zuhaili, menafsirkan bahwa ayat ini bermaksud Allah menurunkan air yang suci sebagai alat untuk bersuci baik untuk tubuh, pakaian, maupun yang lain. Sebab, thahur berarti sesuatu yang digunakan untuk thaharah (bersuci). Nabi Muhammad Saw, bersabda: “Jagalah selaliu kebersihan sedapat mungkin, karena Allah SWT membangun Islam di atas kebersihan, dan tidak akan masuk surgakecuali orang-orang yang bersih.

C. Akhlak dan Etika Berthaharah
            Secara khusus etika dan akhlak berthaharah adalah melaksanakan syarat-syarat fiqh dalam bersuci dengan baik dan sesuai dengan ketentuan agama. Akhlak tersebut dipakai agar seorang muslim agar layak untuk melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Akhlak dalam thaharah perlu untuk di aplikasikan oleh seorang muslim, ini karena seorang muslim yang baik akan mematuhi segala aturan Allah SWT yang ada dalam al-Quran dan Hadits. Garis besarnya adalah meniru akhlak Rasulullah Saw dalam berperilaku dalam segala aspek kehidupan, khususnya dalam bersuci. Tentunya dengan melaksanakan Sunnah Nabi Saw, seorang muslim dapat berharap mendapat keridhaan dari Allah SWT.
Berikut diantaranya akhlak-etika dalam thaharah yang menjadi urgensi bagi kelancaran ibadah umat muslim:
1. Istinja’
Beristinja’ secara bahasa adalah menghilangkan yang mengganggu. Ulama fiqih mendefinisikan istinja’ sebagai perbuatan mensucikan diri dari benda najis yang keluar dari dua lubang (dubur dan qubul).
Ada beberapa adab beristinja menurut ajaran Nabi Muhammad Saw, antara lain:
a. Ketika masuk dalam tempat buang hajat membaca doa “Allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khobaits” dan apabila keluar mengucapkan “Ghufrânaka”;
b. Menjauhkan diri dari pandangan orang atau istitar (memakai tabir agar tidak terlihat orang);
c. Hendaklah menjauhi tempat ramai atau tempat orang-orang bernaung;
d. Tidak membuat hajat di tempat air menggenang yang digunakan untuk mandi dan bersuci;
e. Untuk wanita dimakruhkan buang hajat di kamar mandi umum dimana laki-laki dan perempuan tidak dipisah (Bercampur);
f. Disunnahkan duduk dan tidak menghadap kiblat ataupun membelakanginya;
g. Disunahkan mencari tempat yang lunak (atau lebih rendah) agar tidak menciprati pakaian;
h. Menghindari lubang-lubang tempat tinggal binatang;
i. Tidak sambil memperlihatkan aurat  dan berbicara dengan orang lain;
j. Menggunakan tangan kiri ketika membersihkannya;
k. Tidak menyebut-nyebut nama atau membawa tulisan Allah SWT;
l. Istibra’ (menghabiskan sisa-sisa kotoran); dan
m. Diusahakan mengusap pakaian dengan air yang terciprati air kencing ketika buang hajat;
2. Benda-Benda Najis
Najis secara bahasa adalah kotoran, dan kotoran adalah segala sesuatu yang dianggap menjijikan,  meskipun tidak semua yang menjijikan dapat disebut najis. Maka parameter kotoran dianggap najis atau tidak adalah apa-apa yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Dari sinilah muncul qaidah ushul fiqih: bahwa segala sesuatu pada aslinya suci, kecuali ada dalil yang memberikan kepastian mengenai kenajisannya.  Ada tujuh najis yang penting:
1. Khmr dan cairan apapun yang memabukkan. (Al-Maidah: 90) setiap yang memabukkan itu khamar, dan setiap khamar itu haram.
2. Anjing dan Babi.
3. Bangkai, yaitu tiap-tiap binatang yang mati tanpa disembelih secara syar’i. kecuali bangkai-bangkai yang telah dihukumi najis, yaitu bangkai manusia, karena Allah memuliakan manusia (Al-Isra: 70), Sesungguhnya orang Islam itu tidak najis.   bangkai ikan dan belalang dihalalkan. Dihalalakan dua bangkai dan dua macam darah, yaitu darah hati serta anak limpa.
4. Darah yang mengalir termasuk nanah karena kotor (Al-An’am: 145).
5. Kencing dan tahi manusia maupun binatang.
6. Setiap bagian tubuh yang terlepas dari binatang yang masih bidup. Apa-apa yang terpotong dari seekor binatang adalah bangkai, kecuali rambut dan bulu binatang yang halal dimakan dagingnya adalah suci (An-Nahl: 80).
7. Susus hewan yang haram dimakan dagingnya, seperti keledai karena hukum susunya sama dengan dagingnya, sedang dagingnya itu najis.
            Tingkatan-tingkatan najis, adalah sebagai berikut:
a. Najis Mughaladlah (berat)
Najis mughaladah adalah najis berat yang cara membersihkannya adalah dengan cara diusap dengan tanah, kemudian dicuci dengan air sebanyak tujuh kali. Najis ini adalah binatang anjing dan babi. Contoh yang diberikan Nabi adalah liur anjing sebagaimana hadis berikut:“Apabila anjing minum dalam bejana milik salah seorang diantara kamu, bersihkanlah dengan tanah, kemudian cucilah dengan air sebanyak tujuh kali.”
b. Najis Mutawasithah (pertengahan)
Najis mutawasithah adalah najis sedang yang cara membersihkannya cukup dicuci dengan air tiga kali atau lebih sampai hilang bau, warna, dan bentuk najisnya. Contoh benda-benda najis yang masuk kategori ini adalah: Darah haid dan nifas, wadi dan madzi, tinja, air seni, bangkai, babi, dan muntah.
c. Najis Mukhafafah (ringan)
Najis mukhafafah adalah najis yang paling ringan. Contohnya adalah air kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan kecuali air susu ibunya. Cara membersihkannya cukup dengan cara diperciki air saja.
d. Najis yang Dimaafkan.
      Najis ini contohnya, percikan kencing yang sangat sedikit dan tidak terlihat oleh mata telanjang kepala manusia, sedikit nanah, darah, darah kutu, dan tahi lalat dan najisnya selagi itu tidak perbuatan yang disengaja oleh dirinya. Darah dan nanah dari luka, sekalipun banayk dengan syarat: berasal dari orang itu sendiri, bukan atas perbuatan yang di sengaja,najis itu tidak terlampaui dari tempatnya yang biasa, tahi yang mengenai susu ketika diperah, asalkan sedikit dan tidak merubah susu itu. Tahi ikan dalam air apabila tidak sampai merubahnya, dan tahi burung-burung ditempat yang seriung mereka datangi seperti masjidil Haram di Mekkah dan Madinah. Karena tahi burung tersebut menyebar dimana-mana sehingga sulit dihindarkan, darah yang mengenai tukang jagal, asalkan sedikit. Sedikit darah yang menempel di daging, debu yang menerpa di jalanan, bangaki hewan yang darahnya tidak mengalir, sepeti lalat, lebah, semut, dengan syarat binatang itu tercebur sendiri dan tidak merubah sifat air yang diceburinya. (Bukhari).

D. Cara Bersuci dari Najis, Pakaian, dan Tempat
1. Najis Mughalladzah, hanya bisa disucikan dengan dibasuh tujuh kali, salah satu diantaranya dengan dicampur tanah, baik pada pakaian, tubuh ataupun tempat shalat.
2. Najis Mukhaffafah, disucikan dengan diperciki air sampai merata.
3. Najis Muthawassithah, hanya dapat suci apabila dialiri dengan air yang dapat menghilangkan bekasnya, sehingga wujud dan sifat-sifat najis itu hilang. Dan tidak mengapa jika masih tersisa warnanya yang sulit dihilangkan, seperti darah umpamanya.
4. Kulit Bangkai selain Anjing dan Babi, disucikan dengan cara di samak,yaitu dihilangkan cairannya yang dapat merusaknya jika dibiarkan, dengan menggunakan bahan padat, sehingga jika kulit itu direndam di dalam air, tidak akan lagi busuk dan rusak,   sesudah di samak, kulit itu masih wajib dicuci dengan air karena ia telah bertemu dengan obat-obat najis yang digunakan untuk menyamaknya.
E. Alat Untuk Bersuci
Dalam Islam ada beberapa benda yang dapat digunakan untuk bersuci, antara lain:
a. Air
Air dibagi dalam kajian fiqih dibagi lagi menjadi lima: 1) air mutlak, 2) air musta’mal, 3) air perahan, 4) air campur, dan 5) air najis.
1. Air Mutlak
Air mutlak adalah air suci yang dapat mensucikan (untuk membersihkan najis dan hadas). Adapun macam-macam air tersebut yaitu: air hujan, salju, air, embun, sumur, sungai, es yang sudah hancur kembali.
2. Air Musta’mal (Yang Terpakai)
Air musata’mal adalah air curahan bekas bersuci (mandi dan wudlu). Air yang demikian hukumnya suci dan mensucikan seperti air mutlak, hal ini dikarenakan asalnya yang suci, sehingga tidak ada satu alasanpun yang dapat mengeluarkan air dari kesuciannya.
3. Air Campur
Air campur adalah air suci yang bercampur dengan barang suci seperti sabun, kapur barus dan benda-benda lain yang biasanya terpisah dari air, namun tidak merubah bentuk, bau dan rasanya. Misalnya air kapur barus, air mawar, dan sebagainya. Air tersebut hukumnya menyucikan selama kemutlakannya (bau, bentuk dan rasanya) masih terjaga tetapi, jika sudah tidak dapat lagi dikatakan air mutlak maka hukumnya suci pada dirinya, tetapi tidak menyucikan bagian yang lain (dapat digunakan untuk mensucikan najis namun tidak dapat digunakan untuk membersihkan hadas).
4. Air Perahan
Air perahan adalah air suci yang berasal dari perahan tumbuhan atau buah-buahan. Misalnya air jus, air lira, air kelapa dan sebagainya. Hukum air ini suci namun tidak dapat digunakan untuk bersuci (maksudnya dapat digunakan membersihkan najis namun tidak dapat digunakan untuk membersihkan hadas), sebab tidak memiliki ciri-ciri air mutlak.
5. Air Najis (Mutanajis
Air najis adalah yang tercampur benda najis sehingga merubah rasa, warna, dan baunya. Air najis hukumnya tidak dapat mensucikan, baik untuk mensucikan najis maupun hadas.
b. Tanah; dan
c. Batu dan Benda Padat yang dapat Menyerap Kotoran.
F. Hadas dan Cara Mensucikannya
Hadas adalah sebuah keadaan atau kondisi syar’i dimana seseorang diharuskan bersuci, tanpanya ibadah batal (tidak sah).  Keadaan syar’i yang dimaksud adalah keadaan-keadaan yang digambarkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Hadas dibagi menjadi dua, besar dan kecil. Hadas besar ada dua kondisi yakni, setelah bersenggama (junub) dan setelah haid dan nifas. Berikut ini beberapa keadaan yang menyebabkan seseorang berhadas (harus mandi ataupun wudlu): Junub (Janabat); Terhentinya haid dan nifas; seseorang yang baru masuk Islam; setelah buang air besar dan kecil; setelah buang sngin; tidur lelap dalam keadaan berbaring; dan menyentuh kemaluan.
Dalam Islam ada tiga cara membersihkan hadas, yakni dengan mandi, wudlu, dan terakhir adalah tayamum. Berikut ini akan dijelaskan tatacara ketiganya. Adapun mandi untuk menghilangkan hadas besar. Kalau wudlu untuk menghilangkan hadas kecil. Kalau tayamum untuk menghilangkan hadas besar dan kecil dengan catatan tidak ada air (baik karena kemarau ataupun di perjalanan), dan sakit yang berbahaya jika tersentuh air.
1. Wudlu (Berwudlu)
Adapun tatacara berwudlu adalah sebagai berikut;
1) Membaca “Bismillahirrahmanirrahim”; 2) Mengikhlaskan niat karena Allah; 3) Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali; 4) Menggosok gigi; 5) Menghisap air dari telapak tangan sebelah, berkumur-kumur dan menyemburkannya tiga kali. Dan menyempurnakan dalam menghisap dan berkumur selama tidak dalam keadaan berpuasa; 6) Membasuh muka tiga kali, dengan mengusap kedua sudut mata dan melebihkan dalam membasuhnya;7) Menyela-nyelai jenggot (kalau ada); 8) Membasuh kedua tangan sampai kedua sikut tiga kali tiga kali, dengan mendahulukan tangan kanan, menggosok-gosoknya dan menyela-nyelai jari tangan serta melebihkannya; 9) Mengusap kepala (ubun) dan atas surbannya satu kali dengan cara menjalankan kedua telapak tangan dimulai dari ujung kepala hingga tengkuk dan mengembalikannya pada posisi semula, serta mengusap kedua telinga, bagian dalam dengan telunjuk dan telinga bagian dalam (daun telinga) dengan ibu jari; 10) Membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki sebanyak tiga kali-tiga kali dengan mendahulukan kaki kanan, menggosok-gosoknya dan menyela-nyelai jari kaki serta melebihkan dalam membasuhnya; 11) Membaca do’a; 12) Dalam keadaan-keadaan tertentu seperti dingin dan dalam perjalanan diperkenankan mengusap kedua sepatu (khuf) atau sorban sebagai pengganti membasuh (mencuci) kedua kaki dan mengusap kepala dalam wudlu; dan 13) Batas waktunya tiga jika dalam perjalanan dan satu hari dalam jika tidak bepergian, sedang waktu memakainya diwaktu suci/belum batal wudlunya
2. Mandi Wajib (Al-Ghusl)
Tata cara mandi wajib sebagai berikut:
1) Niat ikhlas karena Allah SWT; 2) Membasuh kedua tangan; 3) Membersihkan kemaluan dengan tangan kiri, dan menggosokkan tangan pada tanah atau sejenisnya (seperti sabun); 4) Berwudlu seperti berwudlu untuk shalat; 5) Kemudian menuangkan air ke atas kepala dengan memakai wangi-wangian, memasukkan jari-jari tangan pada pokok (pangkal) rambut menggosok-gosoknya, meratakan  seluruh badan dimulai dari sisi kanan kemudian sisi kiri dengan digosok, dan menuangkan air sampai merata tiga kali; 6) Melepaskan ikatan rambut atau cukup menyiramnya ; 7) Membasuh kedua kaki masing-masing tiga kali dengan mendahulukan kaki kanan; dan 8) Tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan air
3. Tayamum
Tata cara melaksanakan tayamum adalah sebagai berikut:
1) Mengikhlaskan niat karena Allah; 2) Dengan membaca “Bismillaahirrahmaanirrahiim”; 3) Meletakkan kedua telapak tangan ke tanah/tempat yang mengandung unsur tanah/debu yang suci; 4) Meniup kedua telapak tangan; dan 5) Mengusap muka dengan kedua telapak tangan dan punggung telapak tangan kanan dengan telapak tangan kiri dan begitu sebaliknya satu kali.

G. Hikmah Thaharah
1. Thaharah termasuk tuntutan fitrah. Fitrah manusia cenderung kepada kebersihan dan membenci kotoran serta hal-hal yang menjijikkan.
2. Memelihara kehormatan dan harga diri. Karena manusia suka berhimpun dan duduk bersama. Islam sangat menginginkan agar orang Muslim menjadi manusia terhormat dan punya harga diri di tengah kawan-kawannya.
3. Memelihara kesehatan. Kebersihan merupakan jalan utama yang memelihara manusia dari berbagai penyakit, karena penyakit kebih sering tersebar di sebabkan oleh kotoran. Dan membersihkan tubuh, membasuh wajah, kedua tangan, hidung dan kedua kaki sebagai anggota tubuh yang paling sering berhubungan langsung dengan kotoran, akan membuat tubuh terpelihara dari berbagai penyakit.
4. Beribadah kepada Allah dalam keadaan suci. Allah menyukai orang-orang yang gemar bertaubat dan orang-orang yang bersuci.






BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian baik secara lahiriyah maupun secara batiniyah. Bersih pangkal sehat, peribahasa itu bisa dijadikan acuan agar orang muslim selalu menjaga kebersihan dan kesehatannya. Thaharah adalah syarat orang mukmin dalam menempuh tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah SWT. Beribadah kepada Allah bukan hanya suci secara maknawi tetapi perlunya juga suci secara duniawi, seperti suci dalam tubuh, pakaian, dan tempatnya. Secara haikiki agama Islam mengajarkan kepada umatnya tata cara menjaga imannya dengan cara bersuci. Akhlak dan etika dalam bersuci menjadi pilar dalam mewujudkan nash-Nya, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian, akan menciptakan perilaku yang berbudi yang di turunkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam thaharah, kita sebgai muslim haru dan wajib mengetahi cara-cara bersuci karena bersuci adalah dasar ibadah bagi umat Islam. Oleh karena itu, thaharah sangat penting bagi seorang muslim dalam menjalani kehidupannya. Karena pada dasarnya manusia bersih dan membenci hal-hal yang kotor. Selain itu, dengan thaharah seseorang diajarkan untuk sadar dan mandiri dalam menjaga dirinya dari hal-hal yang kotor serta memahami sopan santun karena seorang muslim harus benar-benar suci ketika berhadapan dengan Allah SWT dalam shalatnya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan membersihkan dirinya.
B. Saran
Sebagai generasi penerus umat, banyak sekali fenomena di masyarakat walaupun akhlak dalam bersuci menjadi hal yang mendasar bagi umat Islam, namun masih banyak dari umat itu sendiri tidak paham tentang thaharah, najis-najis, dan jenis-jenis air yang digunakan untuk bersuci. Tentunya, kewajiban kita mendakwahkan ilmu pengetahuan menjadi prioritas utama seorang muslim yang baik. Kehidupan yang cenderung kompleks dengan kebebasan dan sekulerisme heterogen menyebabkan umat muslim tidak terdorong untuk lebih mengetahui akhlak thaharah lebih jauh, mereka hanya cukup tahu saja, dan bisa mengamalkan tanpa mengetahui dasar hukum yang sesungguhnya. Paparan sedikit materi ini mudah-mudahan bisa menjadi refleksi dalam melanjutkan kehidupan umat yang agamis dan berakhlakul karimah.
DAFTAR PUSTAKA

Al- Quran al-Karim
Sarwal, Ahmad Lc. 2010. Fikih Thaharah, Jakarta: DUCenter Press.
Sahih Muslim. Jilid 1 1998 M/1419 H, Riyadh: Dar al-Salam.
HR. Muslim.
HR. Bukhari.
HR. Ath-Thabrani.
Ahmad, Mudlor. 1998. Etika Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas,
Warsitoh, Ahmad. 2011-2012. Akhlak Thaharah, Yogyakarta: Majelis Tarjih PWM DIY.
Zuhaili, Wahbah. 1985. Fiqh Islam Wa ‘Adilatuhu, Damaskus: Darul Fikri.
HR. Muslim dan Daruqutni.
HR. Ibnu Majah.
Ritongadan Zainuddin, A. Rahman. 1997. FIqh Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sudirman, Pilar-pilar Islam (Menuju Kesempurnaan Sumber Daya Muslim)
al-Qardhawi, Yusuf. 2004. Fiqhu at-Thaharah, Penerjemah Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
As-Sayyid Salim, bin Abu Malik Kamal. 2006. Shahih Fikih Sunnah, Jakarta: Pustaka Azam.
As-Sirbany, Abdurahman Ahmad. 2009. Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap 1 dan 2, Cirebon: Pustaka Nabawi.


You May Also Like

0 komentar