Betulkah Politik itu Kotor, Kejam, dan Picik??
Baca-terus-artikel-inspiratif-di-setiapaelani66blogspot.co.id
BETULKAH POLITIK ITU KOTOR, KEJAM, DAN
PICIK?
Mendengar
kata politik, tentu patokannya sangat luas sekali apabila dipandang oleh mereka
yang mengerti politik. Politik dipandang sebagai sesuatu yang kejam tetapi
halus menggerutunya, dipandang sebagai suatu permainan tidak menguras energi
tetapi menguras pikiran dan hati yang membutuhkan banyak sekali strategi dalam
mewujudkannya. Politik menurut mereka adalah suatu tujuan organisasi yang harus
diwujudkan demi tercapainya suatu tujuan bersama. Namun apalah maksud tujuan
bersama tersebut apabila hanya berkaca pada realita yang notabeninya hanya
mencapai suatu tujuan tertentu (kelompok) saja, bukan tujuan bersama.
Sebaliknya politik dianggap sebagai suatu yang murka, tidak punya nurani, dan
permainan yang sering dibumbui dengan kepentingan-kepentingan atau aroma-aroma
negatif. Itulah gambaran ‘politik’ jika melihat pada pengertian masyarakat
sekarang ini.
Filosof Barat Maurice Duverger
mengatakan bahwa politik adalah kekuasaan. Yaitu kekuatan seluruh jaringan
lembaga-lembaga (institusi) yang mempunyai kaitan dengan otoritas, dalam hal
ini suasana di dominasi oleh beberapa orang saja diatas orang lain (rakyat).
Dalam Islam menurut Abdul Wahhab Khallaf politik (siyasyah) adalah pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin
secara menyeluruh dengan cara mewujudkan maslahat, mencegah terjadinya
kerusakan (mafsadat) melalui
batasan-batasan yang ditetapkan syara dan prinsip-prinsip umum syariah (muqosidhus syariah)—kendati hal itu
tidak ada dalam ketetapan nash dan hanya menyandarkan pada pendapat imam
mujtahid (Asy-Siyasah Asyar’iyyah: 12-127). Dapat kita simpulkan melalui
pengertian tersebut jelas memiliki perbedaan yang mencolok, politik Islam
adalah semua yang berurusan dengan umat, demi tercapainya kemaslahatan. Berbeda
dengan politik Barat yang hanya menitikberatkan pada kekuasan oleh sekumpulan
golongan saja yang hanya akan menguntungkan suatu golongan saja.
Dikalangan umat sekarang politik
sangat sensitif sekali sehingga identik dengan sesuatu yang tidak di sukai oleh
masyarakat. Aplikasi politik di kalangan umat faktanya tidak sesuai harapan,
penuh dengan kebohongan, dusta, picik, dan menyengsarakan. Mengapa hal itu bisa
terjadi? Tentu jawabannya adalah politik yang digunakan adalah politik ala
demokrasi bukan politik Islam. Terlepas dari ketimpangan tersebut pertanyaannya
yang sesuai adalah mengapa umat sekarang tidak sadar dan tidak memahami akan
adanya politik Islam yang nyatanya mensejahterakan umat? Bukankah Rasulullah
Saw. berhasil membangun peradaban besar Islam dengan politiknya?
Umat
saat ini cenderung apatis dan tidak mau memikirkan apa itu politik, seakan-akan
memisahkan kehidupan dengan politik. Padahal dalam Islam berpolitik berarti
mengurusi kehidupan, mengurusi umat, dan politik tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan. Memang tidak bisa dipungkiri fakta dan realita yang buruk menjadi
faktor utama melelehnya kesadaran politik umat. Mereka hanya ingin
berpartisipasi dalam politik apabila hanya dibayar dengan uang saja, itupun kancahnya
dalam demokrasi yang jauh dari kata sesuai dengan harapan umat. Inilah sesuatu
yang mengakar mengapa umat malas untuk berpolitik hingga ‘membenci’ politik. Hal
tersebut menjadi pincang karena sesungguhnya setiap hari manusia bekerja,
sekolah, sampai makan dan minum menggunakan politik sebagai dasarnya. Apa mau
dikata, pengetahuan politik pun bagi umat seakan dipandang sebelah mata, hanya
berlaku bagi orang yang berminat saja, dan akhirnya pengetahuan politik umat
lemah hingga sangat berpengaruh pada jauhnya kesadaran perilaku politik umat
saat ini, pengetahuan politik yang ada dilumpuhkan oleh politik-politik ala
Barat yang sekuler, sehingga hanya segitu saja, tidak adanya kemajuan yang
signifikan. Tidak sulit ditemui, hal tersebut juga dijumpai pada kaum Muslimin
saat ini, generasi penerus tonggak perjuangan ulama seakan-akan habis dicekoki
iming-imingan materi sekulerisme sehingga ogah
mengurusi dan memperjuangkan umat. Mereka cenderung lebih memilih menghabiskan
waktunya dengan menikmati kebebasan duniawi, bersenang-senang semaunya, atau
melakukan pergaulan-pergaulan bebas yang dilarang oleh syari’at Islam. Sungguh
ironis bukan.
Lalu
apa sebenarnya yang menyebabkan lemahnya kesadaran dan pengetahuan umat,
khususnya kaum Muslim terhadap politik?
Ustadz Fadzlan Garamathan yang dikutip Republika.co.id. (Jumat,
01/05/2015) di Jakarta mengatakan, “Umat Islam belum
mendapat tempat yang layak di negaranya sendiri. Kecurigaan-kecurigaan
pemerintah seringkali masih dialamatkan kepada umat Islam. Umat Islam tidak
mendapat tempat di negara sendiri karena tidak mengambil fungsi dan peran
dakwah dengan benar, berprasangka buruk pada Islam, saling mencurigai untuk
kepentingan duniawi, serta tidak menempatkan agama sebagai pandangan hidup”.
Ia menambahkan, “Peran dakwah dianggap hanya tugas
lulusan pesantren dan sekolah agama saja. Yang lebih memprihatinkan,
agenda-agenda dakwah itu sering dikemas dalam kepentingan politik suatu
kelompok. Hal tersebut dapat merusak ketatanan dan kepercayaan generasi penerus
terhadap politik. Antar sesame kelompok umat Islam juga masih ada sikap saling
mencurigai. Keretakan-keretakan itu kemudian dimanfaatkan oleh pihak ketiga
yang ingin melemahkan umat Islam. Dan yang paling banyak, ‘Umat Islam di
Indonesia belum menempatkan Islam sebagai pandangan hidup, melainkan hanya
sekadar ritual atau bawaan lahir," Jelasnya.
Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin. Islam
mengatur segala sendi kehidupan termasuk politik. Kalau kita memahami betapa
pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan syari’at
Islam. Terlebih lagi ‘memikirkan/memperhatikan urusan umat Islam hukumnya wajib
sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda:
"Barangsiapa bangun di pagi hari
perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan
barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia
tidak termasuk golongan mereka (kaum Muslimin) (HR.
)”
Oleh karena itu setiap saat
kaum Muslimin harus senantiasa memikirkan urusan umat, termasuk menjaga agar
seluruh urusan ini terlaksana sesuai dengan hukum syari’at Islam. Sebab umat
Islam telah diperintahkan untuk berhukum (dalam urusan apapun) kepada apa yang
diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, yakni Risalah Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw.
Firman Allah SWT:
"…Barangsiapa yang tidak memutuskan
(perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
kafir ". (QS. Al-Maidah: 44).
"….maka putuskanlah (perkara) mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu….." (QS.
Al-Maidah: 48).
Dua ayat di atas dan
beberapa ayat lain yang senada, seperti surat Al-Maidah ayat 44, 45, 47, dan 49
serta An-Nisaa’ ayat 65 menjelaskan bahwa kaum muslimin harus (wajib)
mendasarkan segala keputusan tentang urusan apapun kepada ketentuan Allah,
yakni hukum syari’at Islam
Sangatlah
penting untuk membuka kembali lembaran sejarah Nabi Muhammad Saw. serta
mencontoh keteladanannya dalam mengelola kepemimpinan umat dalam menciptakan
kebaikan kualitatif maupun kuantitatif. Apalagi bagi umat Islam, Muhammad Saw,
bukan sekadar cermin teladan (uswah
hasanah) dalam masalah rohani, melainkan juga contoh ideal seorang pemimpin
duniawi. Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, tidak sebatas urusan agama, akan
tetapi beliau juga pemimpin negara yang mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat,
dan sistem ketatanegaraan.
Ali
Syariati menggambarkan sosok, karakter, dan perilaku Nabi Muhammad Saw. dalam
tulisannya yang berjudul A Visage of
Prophet Muhammad. Sosok Nabi sebagai pemimpin militer: “Tidak ada pemimpin
militer, sehubungan dengan operasi militernya sendiri, yang mampu melibatkan
dirinya dalam perang sebanyak itu (64 atau 65 kali), dalam sepuluh tahun
kepemimpinannya di bidang sosial dan politik. Nabi Muhammad Saw. bukan hanya sebagai
pemimpin militer belaka, tetapi juga, Nabi dan Rasul yang memperlihatkan
kualitas kemanusiaannya yang sangat terpuji.
Tidak
dilupakan, misalnya, sebagai pemimpin yang mampu menandingi bahkan meruntuhkan
sejumlah kekaisaran besar pada zamannya, Nabi Saw. berkenan menerima seorang
wanita yang selama sekira satu jam mengadukan masalah rumah tangganya. Juga
sekali waktu, sepulang berperang, Nabi Saw. turun dari kudanya dan menemui
seorang buruh kecil yang terkucil. Diciumnya tangan sang buruh yang kasar itu,
serta menjelaskan tangan yang kelelahan mencari nafkah untuk kebaikan
keluarganya ini diharamkan tersentuh api neraka.
Salah kalau umat beranggapan politik
itu kotor, picik, apalagi kejam. Dapat disimpulkan bahwa sebetulnya politik itu
tidak kejam, picik, ataupun kotor apabila yang dipakai adalah politik Islam
bukan politik Barat. Politik Islam mengajarkan akan adanya gotong royong dan
persatuan umat, ketentraman, dan kesejahteraan. Bukan politik ala Barat yang
hanya memecah belah umat, ataupun memisahkan politik dengan agama. Rasulullah
Saw. membangun persatuan dan kekuatan dalam menyebarkan agama Islam dengan
strategi politik yang terbaik.
Agar seluruh kehidupan politik umat
kembali optimal, tentu perlu adanya politik Islam (siyasyah). Politik Islam hanya akan bisa diwujudkan oleh adanya
Daulah Khilafah, yaitu Negara yang menerapkan hokum dan mengatur semua urusan
sesuai dengan ketentuan akidah Islam. Khilafah Islam akan menjamin tegaknya
kembali kehidupan politik umat yang terjaga, bahkan menyebar ke seluruh penjuru
dunia.
Khilafah Islam akan menyiapkan
generasi-generasi Muslim yang sadar akan politik, paham berpolitik, ditunjang
dengan pendidikan Islam yang menjaga tsaqafah
dan identitas umat. Tujuannya adalah terciptanya kehidupan umat yang
harmonis, aman, damai, dan sejahtera. Mereka akan menjadi ulama dan tokoh-tokoh
politik besar yang mumpuni dan dipercaya oleh umat untuk membawa Khilafah Islam
sebagai tatanan politik yang beradab, sekaligus menjadi pemimpin dan
berpengaruh karena ideologinya. Itulah Khilafah
‘ala minhaj an-Nubuwwah yang akan tegak kembali—dengan izin Allah SWT—untuk
kedua kalinya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: … kemudian akan datang Khilafah yang berjalan di atas metode kenabian (HR.
Ahmad).
0 komentar