Betulkah Politik itu Kotor, Kejam, dan Picik??

by - 04.48

Baca-terus-artikel-inspiratif-di-setiapaelani66blogspot.co.id
BETULKAH POLITIK ITU KOTOR, KEJAM, DAN PICIK?
            Mendengar kata politik, tentu patokannya sangat luas sekali apabila dipandang oleh mereka yang mengerti politik. Politik dipandang sebagai sesuatu yang kejam tetapi halus menggerutunya, dipandang sebagai suatu permainan tidak menguras energi tetapi menguras pikiran dan hati yang membutuhkan banyak sekali strategi dalam mewujudkannya. Politik menurut mereka adalah suatu tujuan organisasi yang harus diwujudkan demi tercapainya suatu tujuan bersama. Namun apalah maksud tujuan bersama tersebut apabila hanya berkaca pada realita yang notabeninya hanya mencapai suatu tujuan tertentu (kelompok) saja, bukan tujuan bersama. Sebaliknya politik dianggap sebagai suatu yang murka, tidak punya nurani, dan permainan yang sering dibumbui dengan kepentingan-kepentingan atau aroma-aroma negatif. Itulah gambaran ‘politik’ jika melihat pada pengertian masyarakat sekarang ini.
            Filosof Barat Maurice Duverger mengatakan bahwa politik adalah kekuasaan. Yaitu kekuatan seluruh jaringan lembaga-lembaga (institusi) yang mempunyai kaitan dengan otoritas, dalam hal ini suasana di dominasi oleh beberapa orang saja diatas orang lain (rakyat). Dalam Islam menurut Abdul Wahhab Khallaf politik (siyasyah) adalah pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan cara mewujudkan maslahat, mencegah terjadinya kerusakan (mafsadat) melalui batasan-batasan yang ditetapkan syara dan prinsip-prinsip umum syariah (muqosidhus syariah)—kendati hal itu tidak ada dalam ketetapan nash dan hanya menyandarkan pada pendapat imam mujtahid (Asy-Siyasah Asyar’iyyah: 12-127). Dapat kita simpulkan melalui pengertian tersebut jelas memiliki perbedaan yang mencolok, politik Islam adalah semua yang berurusan dengan umat, demi tercapainya kemaslahatan. Berbeda dengan politik Barat yang hanya menitikberatkan pada kekuasan oleh sekumpulan golongan saja yang hanya akan menguntungkan suatu golongan saja.
            Dikalangan umat sekarang politik sangat sensitif sekali sehingga identik dengan sesuatu yang tidak di sukai oleh masyarakat. Aplikasi politik di kalangan umat faktanya tidak sesuai harapan, penuh dengan kebohongan, dusta, picik, dan menyengsarakan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Tentu jawabannya adalah politik yang digunakan adalah politik ala demokrasi bukan politik Islam. Terlepas dari ketimpangan tersebut pertanyaannya yang sesuai adalah mengapa umat sekarang tidak sadar dan tidak memahami akan adanya politik Islam yang nyatanya mensejahterakan umat? Bukankah Rasulullah Saw. berhasil membangun peradaban besar Islam dengan politiknya?
Umat saat ini cenderung apatis dan tidak mau memikirkan apa itu politik, seakan-akan memisahkan kehidupan dengan politik. Padahal dalam Islam berpolitik berarti mengurusi kehidupan, mengurusi umat, dan politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Memang tidak bisa dipungkiri fakta dan realita yang buruk menjadi faktor utama melelehnya kesadaran politik umat. Mereka hanya ingin berpartisipasi dalam politik apabila hanya dibayar dengan uang saja, itupun kancahnya dalam demokrasi yang jauh dari kata sesuai dengan harapan umat. Inilah sesuatu yang mengakar mengapa umat malas untuk berpolitik hingga ‘membenci’ politik. Hal tersebut menjadi pincang karena sesungguhnya setiap hari manusia bekerja, sekolah, sampai makan dan minum menggunakan politik sebagai dasarnya. Apa mau dikata, pengetahuan politik pun bagi umat seakan dipandang sebelah mata, hanya berlaku bagi orang yang berminat saja, dan akhirnya pengetahuan politik umat lemah hingga sangat berpengaruh pada jauhnya kesadaran perilaku politik umat saat ini, pengetahuan politik yang ada dilumpuhkan oleh politik-politik ala Barat yang sekuler, sehingga hanya segitu saja, tidak adanya kemajuan yang signifikan. Tidak sulit ditemui, hal tersebut juga dijumpai pada kaum Muslimin saat ini, generasi penerus tonggak perjuangan ulama seakan-akan habis dicekoki iming-imingan materi sekulerisme sehingga ogah mengurusi dan memperjuangkan umat. Mereka cenderung lebih memilih menghabiskan waktunya dengan menikmati kebebasan duniawi, bersenang-senang semaunya, atau melakukan pergaulan-pergaulan bebas yang dilarang oleh syari’at Islam. Sungguh ironis bukan.
Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan lemahnya kesadaran dan pengetahuan umat, khususnya kaum Muslim terhadap politik?
Ustadz Fadzlan Garamathan yang dikutip Republika.co.id. (Jumat, 01/05/2015) di Jakarta mengatakan, “Umat Islam belum mendapat tempat yang layak di negaranya sendiri. Kecurigaan-kecurigaan pemerintah seringkali masih dialamatkan kepada umat Islam. Umat Islam tidak mendapat tempat di negara sendiri karena tidak mengambil fungsi dan peran dakwah dengan benar, berprasangka buruk pada Islam, saling mencurigai untuk kepentingan duniawi, serta tidak menempatkan agama sebagai pandangan hidup”.
Ia menambahkan, “Peran dakwah dianggap hanya tugas lulusan pesantren dan sekolah agama saja. Yang lebih memprihatinkan, agenda-agenda dakwah itu sering dikemas dalam kepentingan politik suatu kelompok. Hal tersebut dapat merusak ketatanan dan kepercayaan generasi penerus terhadap politik. Antar sesame kelompok umat Islam juga masih ada sikap saling mencurigai. Keretakan-keretakan itu kemudian dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang ingin melemahkan umat Islam. Dan yang paling banyak, ‘Umat Islam di Indonesia belum menempatkan Islam sebagai pandangan hidup, melainkan hanya sekadar ritual atau bawaan lahir," Jelasnya.
Berpolitik adalah hal yang sangat penting bagi kaum muslimin. Islam mengatur segala sendi kehidupan termasuk politik. Kalau kita memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan syari’at Islam. Terlebih lagi ‘memikirkan/memperhatikan urusan umat Islam hukumnya wajib sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda:
"Barangsiapa bangun di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum Muslimin) (HR. )”
Oleh karena itu setiap saat kaum Muslimin harus senantiasa memikirkan urusan umat, termasuk menjaga agar seluruh urusan ini terlaksana sesuai dengan hukum syari’at Islam. Sebab umat Islam telah diperintahkan untuk berhukum (dalam urusan apapun) kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, yakni Risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Firman Allah SWT:
"…Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir ". (QS. Al-Maidah: 44).
"….maka putuskanlah (perkara) mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu….." (QS. Al-Maidah: 48).
Dua ayat di atas dan beberapa ayat lain yang senada, seperti surat Al-Maidah ayat 44, 45, 47, dan 49 serta An-Nisaa’ ayat 65 menjelaskan bahwa kaum muslimin harus (wajib) mendasarkan segala keputusan tentang urusan apapun kepada ketentuan Allah, yakni hukum syari’at Islam
Sangatlah penting untuk membuka kembali lembaran sejarah Nabi Muhammad Saw. serta mencontoh keteladanannya dalam mengelola kepemimpinan umat dalam menciptakan kebaikan kualitatif maupun kuantitatif. Apalagi bagi umat Islam, Muhammad Saw, bukan sekadar cermin teladan (uswah hasanah) dalam masalah rohani, melainkan juga contoh ideal seorang pemimpin duniawi. Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, tidak sebatas urusan agama, akan tetapi beliau juga pemimpin negara yang mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan sistem ketatanegaraan.
Ali Syariati menggambarkan sosok, karakter, dan perilaku Nabi Muhammad Saw. dalam tulisannya yang berjudul A Visage of Prophet Muhammad. Sosok Nabi sebagai pemimpin militer: “Tidak ada pemimpin militer, sehubungan dengan operasi militernya sendiri, yang mampu melibatkan dirinya dalam perang sebanyak itu (64 atau 65 kali), dalam sepuluh tahun kepemimpinannya di bidang sosial dan politik. Nabi Muhammad Saw. bukan hanya sebagai pemimpin militer belaka, tetapi juga, Nabi dan Rasul yang memperlihatkan kualitas kemanusiaannya yang sangat terpuji.
Tidak dilupakan, misalnya, sebagai pemimpin yang mampu menandingi bahkan meruntuhkan sejumlah kekaisaran besar pada zamannya, Nabi Saw. berkenan menerima seorang wanita yang selama sekira satu jam mengadukan masalah rumah tangganya. Juga sekali waktu, sepulang berperang, Nabi Saw. turun dari kudanya dan menemui seorang buruh kecil yang terkucil. Diciumnya tangan sang buruh yang kasar itu, serta menjelaskan tangan yang kelelahan mencari nafkah untuk kebaikan keluarganya ini diharamkan tersentuh api neraka.
Salah kalau umat beranggapan politik itu kotor, picik, apalagi kejam. Dapat disimpulkan bahwa sebetulnya politik itu tidak kejam, picik, ataupun kotor apabila yang dipakai adalah politik Islam bukan politik Barat. Politik Islam mengajarkan akan adanya gotong royong dan persatuan umat, ketentraman, dan kesejahteraan. Bukan politik ala Barat yang hanya memecah belah umat, ataupun memisahkan politik dengan agama. Rasulullah Saw. membangun persatuan dan kekuatan dalam menyebarkan agama Islam dengan strategi politik yang terbaik.
Agar seluruh kehidupan politik umat kembali optimal, tentu perlu adanya politik Islam (siyasyah). Politik Islam hanya akan bisa diwujudkan oleh adanya Daulah Khilafah, yaitu Negara yang menerapkan hokum dan mengatur semua urusan sesuai dengan ketentuan akidah Islam. Khilafah Islam akan menjamin tegaknya kembali kehidupan politik umat yang terjaga, bahkan menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Khilafah Islam akan menyiapkan generasi-generasi Muslim yang sadar akan politik, paham berpolitik, ditunjang dengan pendidikan Islam yang menjaga tsaqafah dan identitas umat. Tujuannya adalah terciptanya kehidupan umat yang harmonis, aman, damai, dan sejahtera. Mereka akan menjadi ulama dan tokoh-tokoh politik besar yang mumpuni dan dipercaya oleh umat untuk membawa Khilafah Islam sebagai tatanan politik yang beradab, sekaligus menjadi pemimpin dan berpengaruh karena ideologinya. Itulah Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah yang akan tegak kembali—dengan izin Allah SWT—untuk kedua kalinya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: … kemudian akan datang Khilafah yang berjalan di atas metode kenabian (HR. Ahmad).

You May Also Like

0 komentar