Akar Historis Konsep Kota Dalam Masyarakat Muslim
AKAR HISTORIS KONSEP KOTA DALAM MASYARAKAT MUSLIM
A. KONSEP HADHARAH DAN BADAWAH IBNU KHALDUN
Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara (daulah), yaitu ‘ashabiyah. Teorinya tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya. ‘Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu Badawah (komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury) (Muqaddimah: 120). Penduduk kota menurutnya banyak berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badui, meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan (Muqaddimah: 123). Daerah yang subur berpengaruh terhadap persoalan agama. Orang-orang Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang kota serta hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah lebih baik dalam beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang yang hidup di padang pasir adalah orang zuhud. Orang Badui lebih berani daripada penduduk kota. Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan orang Badui hidup memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain (Muqaddimah: 125).
Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus memiliki sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri (Muqaddimah: 120). Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan (Muqaddimah: 131). Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya (Muqaddimah: 132). Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain (Muqaddimah: 138).
Pendapat Ibn khaldun dalam hal ini tidak mengherankan, karena dia melakukan penelitian pada masyarakat ‘Arab dan Barbar khususnya yang memang menjalani kehidupan sukar dipadang pasir. Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian, negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah yang terjadi pada orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas (Muqaddimah: 139-140). Aka tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan tambah memperoleh kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial (Muqaddimah: 140). Menurut Ibn Khaldun apabila suatu bangsa itu liar, kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan golongan lain (Muqaddimah: 145). Tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldun, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘ashabiyyah kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan (Muqaddimah: 151). Tetapi menurutnya pula, bahwa motivasi Agama saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah). Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal di luar Agama (Muqaddimah: 159). Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163). Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan.
B. SEJARAH LAHIRNYA KOTA MEKKAH DAN MADINAH
1. Kota Mekkah al-Mukarramah ; ( yang ramai dengan tangis dan thowaf keliling Ka’bah )
Kata Mekkah/Makkah/Bakkah yang berarti tempat yang padat dan ramai, karena banyaknya orang yang thowaf dan menangis sekeliling Ka’bah. Kota Mekkah adalah kota pertama yang ada di dunia, setelah itu kota Madinah, lalu Baitul Maqdis.
Sejak awal kota Mekkah menjadi kota pertemuan setiap manusia, baik dalam berdagang ataupun beribadah, sehingga kota Mekkah menjadi kota Metropolitan yang ramai dengan bisnis dan ibadah. Hal ini telah tergambar oleh kebiasaan penduduknya (Bani Quraisy) yang dikisahkan dalam surat Quraisy, tentang hoby berdagang orang Quraisy yang tidak mengenal musim dan tempat.
Di Mekkah terdapat bangunan pertama di dunia (Ka’bah) sebagai kiblat ibadah dan Gunung pertama di di dunia (Jabal Abi Qubais) yang berhadapan dengan Bab, Salaam. Selain itu terdapat Sumur Zamzam (hasil tawakkal yang benar dari keluarga Ibrahim AS), dan di sebelahnya terdapat Maqom Ibrahim (tempat berpijak Ibrahim) saat meninggikan bangunan Ka’bah bersama Isma’il putranya. (tafsir surat al-Imran ayat 56)
Mekkah adalah kota kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang telah berhasil menyelamatkan manusia dari segala kemusyrikan kepada Tauhid (Peng-Esaan Allah), kota yang sangat dicintai karena terdapat Rumah Allah dan Masjidil Haram, dimana nilai kebaikan beribadah disitu 100.000 kali daripada kebaikan ibadah di tempat lain di dunia ini. Dan Mekkah menjadi kota yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW, beliau tidak akan keluar dari Mekkah kalau tidak diusir oleh kaumnya, sehingga begitu bahagianya Rasul ketika mampu menduduki kota Mekkah pada tahun ke 9 hijriah. Dan selogan yang beliau dengungkan adalah “al-yauma yaumul marhamah la yaumul malhamah” (hari ini adalah hari kasih sayang bukan hari pembalasan).
والله إنك لخير ارض الله, واحب ارض الله الى الله, ولولا أني أخرجت منك لمَا خرجتُ
Artinya : Demi Allah sesungguhnya engkau (makkah) adalah bumi Allah yang paling baik dan tanah yang paling dicintai Allah, andaikan aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan mening-galkanmu.(H.R. Ahmad).
Kemuliaan kota Mekkah juga berkat do’a Ibrahim ketika beliau masuk kota Mekkah untuk menitipkan putra kesayangannya Isma’il (bayi) bersama istrinya Siti Hajar di lembah yang tandus, sebaimana dijelaskan dalam surat Ibrahim ayat 35-37 ;
“Dan ingatlah saat Ibrahim berkata (kepada Tuhannya) ya Tuhan jadikanlah negeri ini (Mekkah) negeri yang aman, dan jauhkan aku serta keturunanku dari menyembah berhala Ya Tuhan sesungguhnya menyembah berhala itu telah menyesatkan banyak manusia, maka siapa saja yang mengikutiku maka dia adalah umatku dan siapa saja yang mengingkariku sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Ya Tuhan kami kini aku titipkan keturunanku di sebuah Lembah yang kering kerontang di depan RumahMu (Ka’bah), agar mereka menegakkan shalat dan jadikan hati-hati manusia tertuju kepada mereka serta anugerahkan mereka rizqi berupa buah-buahan agar mereka bersyukur “
Sehingga sampai saat ini kota Mekkah dengan penduduknya akan tetap aman dan sejahtera, bahkan kata Nabi saw, bahwa dua kota di dunia yang tidak akan terkena bencana alam adalah Mekkah dan Madinah..Wallahu a’lam..
2. Kota Madinah al-Munawwarah ( yang bersinar dengan kemuliaan akhlak penghuninya )
Asal nama kota Madinah adalah Yatsrib yang berarti tajam dan tandus, sehingga lepas dari pantauan orang-orang Kafir Quraisy dalam menghalang-halangi hijrahnya para manusia telah terbukti bahwa Yatsrib sejak 500 tahun sebelum umat Islam hijrah telah terlebih dahulu orang-orang Yahudi yang terusir dari negeri Syam. Sehingga penduduk Yatsrib (Madinah) menjadi heterogen yaitu 3 qabilah Arab (Kaum Aus – Kaum Khozroj – Bani Najjar) dan 3 suku Yahudi ( Bani Qoinuqo’ – Bani Musthaliq – Bani Quraizhah ).
Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah bersama para pengikutnya, maka Yatsrib menjadi kota Madinah al-Munawwarah (kota yang terang benderang). Hal ini sesuai dengan do’a Rasulullah SAW saat masuk kota Madinah yang menjadi salah satu Haramain, yaitu:
«اللهمّ إنَّ إبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَإِنِّي حَرَّمْتُ الْمَدِينَةَ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا لَا يُقْطَعُ عِضَاهُهَا وَلَا يُصَادُ صَيْدُهَا » .رَوَاهُ مُسْلِم
“Ya Allah sebagaimana Ibrahim telah memuliakan kota Mekkah, maka aku memuliakan kota Madinah antara kedua kampong (ujung)nya, dimana tidak boleh memotong pepohonannya dan tidak pula memburu binatang buruannya.”
Di Madinah ada mesjid Nabawi yang keutamaan shalat didalamnya 1000 kali daripada di mesjid lain di dunia, tatanan kehidupan yang Islami telah dibangun disini karena Madinah menjadi Ibu Kota Negara Islam pertama di dunia dimana hokum yang diterapkan adalah hokum Islam murni, karena dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW yang amat sangat mulia dan bersahaja didepan kawan dan lawannya.
Madinah dikenal sebagai kota Anshor (penolong) dan hal itu telah diabadikan oleh Allah dalam surat al-Hasyr ayat 9 ; sehingga sampai saat ini masih terasa perbedaan suasana hidup di Mekkah denga hidup di Madinah. Lebih dari itu kalo kita kembali ke zaman Rasulullah SAW ternyata da’wah Rasul lebih kondusif dan berhasil ketika beliau hijrah ke Madinah, dan beliau telah berhasil mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Kaum Anshor sehingga menjadi kekuatan yang utuh dalam menjadikan Madinah sebagai Negara Islam.
Madinah kota perjuangan yang tidak sedikit menuntut pengorbanan harta dan diri demi tegaknya agama Allah, sehingga julukan Syuhada Badar, Uhud, Khondak, Tabuk dan lainnya adalah bukti sejarah perjuangan mereka yang menjadi kebanggaan dan saksi di kaherat nanti. Disini pula terdapat Makam Rasulullah SAW dan para Shahabat pilihan, sehingga terkesan kemulian Madinah karena prilaku dan akhlaq Rasulullah SAW yang sangat mulia, seperti pujian Allah tentang akhlak beliau dalam surat al-Qolam ayat 4.
Di Madinah pula syari’at Islam disempurnakan, baik tentang tuntunan Ibadah Mahdhah maupun Ibadah Mu’amalah, baik masalah perniagaan maupun perpolitikan, baik masalah pembinaan pribadi ataupun social kemasyarakatan. Kemuliaan tersebut dilengkapi dengan penjagaan Malaikat terhadap kota Madinah dari tangan-tangan jail manusia, bahkan betapa santunnya Imam Abu Hanifah ketika akan masuk kota Madinah namun belum dapat izin dari Imam Malik sebagai Imam Darul Hijrah sehingga membuat Imam Abu Hanifah menunggu berhari-hari di mesjid Bier Ali.
Dari Madinah ini Islam tersebar sampai ke seluruh penjuru dunia, dengan semangat perjuangan dan pengorbanan (jihad) para shahabat dan generasi penerusnya. Inilah Madinah Rasul yang sarat dengan ilmu Islam dan sumber-sumber syari’at Islam.
Assalamu’alaika ya Rasulallah, assalamu’alaika ya Habiballah, asyhadu annaka Abdullah wa Rasuluh, faqad addaita alamanah, wanashahta al ummah, wakasyafta al ghummah, wa jahadta fillah haqqa jihadih…. Insya Allah dalam waktu dekat bias Shalat di mesjid Al-Aqsha dengan 500 kemuliaan…. Wallahu a’lam bis-showaab…
C. TERMINOLOGI KOTA DALAM AL-QURAN
0 komentar