Multikulturalisme: Kebijakan Untuk Lindungi Masyarakat
Pluralis
Oleh:
Paelani Setia
Hampir
semua negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan—artinya perbedaan
menjadi asas utamanya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya di
muka bumi semakin intensif (Parekh: 2001). Dua poin utama yang perlu digaris
bawahi yaitu mobilitas sosial dan masyarakat pluralistik. Adanya mobilitas
sosial secara historis dilakukan oleh kelompok-kelompok pendatang karena arus
migrasi penduduk akibat adanya industrialisasi maupun perlindungan politik dari
konflik negara asal, hal ini menyebabkan adanya proses akulturasi budaya yang
ditularkan oleh para pendatang tersebut, akibatnya lahirlah masyarakat
pluralistik. Proses menuju masyarakat pluralistik tidak mudah, karena pada awalnya
dilakukan oleh kelompok minoritas dengan melewati berbagai penolakan dari kaum
pribumi, diskriminasi, hingga rasisme. Oleh karena itu, menyikapi hal tersebut perlu
diterapkan kebijakan multikulturalisme. Berikut alasan-alasan mengapa kebijakan
multikulturalisme perlu diterapkan:
Pertama, keragaman
penduduk. Mobilitas penduduk yang tinggi dalam suatu
negara maupun antar negara menyebabkan munculnya penduduk dengan latar belakang
yang berbeda-beda, baik itu suku, agama, ras, dan budaya. Ini yang disebut
dengan masyarakat pluralistik, ini pula terjadi di negara-negara Barat. Selain
itu, wilayah yang luas (maritim) dengan berbagai pola tradisi yang banyak
sebagai warisan nenek moyang juga menyebabkan masyarakat pluralistik, sebut
saja Indonesia.
Kedua, Multi-nation state.
Negara di dunia saat ini sangat langka terdiri dari
satu etnis atau suku bangsa saja, melainkan terdiri dari berbagai suku bangsa
atau multi-kebangsaan/multi etnis, yaitu terdiri dari dua atau lebih suku
bangsa yang hidup dalam suatu negara secara berdampingan. Untuk menciptakan
tatanan yang harmonis tidak ada cara selain kebijakan multikulturalisme.
Ketiga, melindungi
minoritas. Secara historis multikulturalisme selalu
berkaitan dengan kelompok minoritas faktanya ketika pertama kali di tetapkan di
Kanada 1988, tujuan utamanya adalah solusi atas tuntutan kelompok minoritas
Perancis yang merasa di nomorduakan oleh kelompok pribumi, sama halnya dengan
kelompok minoritas buruh di Amerika, ini menjadi ciri dari multikulturalisme
yaitu keinginan atas pengakuan (recognation). Ini penting bagi negara-negara
modern saat ini, dimana kelompok minoritas akan tetap ada dan perlu dilindungi
hak-haknya.
Keempat, mencegah
separatisme. Adanya kelompok-kelompok separatis yang
ingin memisahkan diri dari negara merupakan problem negara-negara berkembang
dan majemuk, biasanya disebabkan karena adanya perasaan ketidakadilan baik
sosial atau politik. GAM di Aceh merupakan salah satu contohnya. Tentunya
kebijakan multikulturalisme perlu diterapkan disamping kebijakan otonomi khusus
daerah untuk membendungnya.
Kelima, mencegah
disintegrasi bangsa. Multikulturalisme
merupakan paham yang memperbolehkan atau memberikan peluang yang sama besar
kepada setiap orang yang berbeda-beda untuk memenuhi hak-hak dan kewajibannya,
atau juga suatu kebijakan tentang keberagaman budaya, sehingga mampu
meminimalisir terjadinya konflik horizontal yang dapat memecah belah bangsa.
Hal ini penting, sebab dalam masyarakat plural potensi perpecahan sangat tinggi
karena adanya sentimen SARA dalam berbagai elemen kehidupan.
Keenam, memperkuat
prinsip supremasi hukum, demokrasi, dan HAM. Lahirnya
multikulturalisme tidak lepas dari adanya tatanan dunia baru yang lebih terbuka
dan berperikemanusiaan. Berbagai pelanggaran atas diskriminasi dan kompleksitas
problem masyarakat urban memerlukan adanya supremasi hukum yang mengikat dan
berkeadilan. Selain itu, prinsip kebebasan berserikat dan berpendapat perlu
jadi pegangan bernegara atau berdemokrasi karena hal tersebut merupakan hak
setiap manusia yang harus dilindungi undang-undang.
Ketujuh, prinsip
egalitarian. Konsep egaliter (bersifat sama/sederajat)
merupakan ciri dari masyarakat multikultural. Adanya budaya patriarki tentunya
bertentangan dengan konsep multikultural sehingga melahirkan konsep kesetaraan
gender, yaitu ciri atau sifat yang dihubungkan dengan jenis kelamin tertentu,
baik kebiasaan, budaya, maupun perilaku psikologis (Khuzai: 2013) yang di
konstruk dalam masyarakat, misalnya perempuan juga memiliki hak publik dalam
politik. Ini penting sebagai wujud adanya keseimbangan peran dalam bernegara.
Kedelapan, simbol negara
toleran, terdidik, dan kuat. Tak dapat dipungkiri
suatu negara kuat merupakan negara yang mempunyai nilai-nilai toleransi yang
tinggi, ini tentunya diimplementasikan oleh masyarakat yang terdidik, hal ini
dapat menjadi pemicu terciptanya tatanan negara yang aman dan inklusif.
Akibatnya, bisa berdampak pada peranan negara dalam dunia global.
Anthony
Giddens memperkenalkan sophisticated
multiculturalism (kemurnian multikulturalisme) yang di dalamnya terdapat penekanan
terhadap poin-poin penting yaitu: identitas dan hukum nasional; kewajiban
negara dalam memperkuat keberagaman suku bangsa; solidaritas sosial; komunikasi
antar kelompok; rasa keberagaman; dan keseimbangan kewajiban dan kepedulian
terhadap keberagaman etnik suku bangsa. Lebih lanjut Azyumardi Azra mengatakan
bahwa multikulturalisme adalah cara pandang dunia yang diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan pada penerimaan terhadap realitas
keagamaan, pluralistis, dan multikultural dalam masyarakat Juga dapat dipahami
sebagai pandangan dunia yang diwujudkan dalam aktivitas politik (Azra: 2007).
Jadi,
kebijakan multikulturalisme merupakan strategi jitu bagi pemerintah untuk
mewujudkan negara yang damai dan sejahtera. Sebuah jawaban atas tantangan
kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, semakin rumit, dan semakin modern
diabad XXI ini. Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah menerapkan kebijakan ini?
Perlukah dilembagakan (diformalkan dalam undang-undang) atau sudah cukup mengambil
substansi dari Bhinekka tunggal ika?
Tentunya, patut dikaji lebih dalam lagi dari berbagai sudut pandang.
Daftar Rujukan:
Azra, Ayjumardi,
2007. “Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia.”
Parekh, Bikhu,
2001. Rethinking Multiculturalism,
Harvard. Dalam Ana Irhandayaningsih, “Kajian Filosofis terhadap
Multikulturalisme Indonesia.”
Moh. Khuzai, Problem Definisi Gender: Kajian Atas Konsep
Nature dan Nurture, Jurnal Studi Agama dan pemikiran Islam, KALIMAH, Vol.
11, No. 1, Maret Th. 2013.
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya
kebutuhan manusia menjadi tujuan utama mempertahankan hidup, kebutuhan primer seperti
sandang, pangan, dan papan harus terpenuhi tanpa alasan apapun karena itu
merupakan kebutuhan hajat hidup untuk mempertahankan kehidupan. Namun pada
faktanya kebutuhan dasar ini seringkali tidak bisa merata dan terpenuhi oleh
suatu negara dengan berbagai alasan dan kendala. Oleh karena itu terciptalah
kemiskinan. Kemiskinan merupakan momok bagi negara-negara dunia termasuk
Indonesia, ini artinya bisa menghambat majunya dan sejahteranya suatu negara.
Kata pembangunan
mungkin saja sangat akrab di telinga kita. Secara umum kata ini diartikan
sebagai usaha untuk mewujudkan kemajuan hidup berbangsa. Akan tetapi pada
sebagian besar masyarakat, pembangunan selalu diartikan sebagai perwujudan
fisik. Bahkan pada masyarakat kecil, pembangunan mempunyai makna yang khas,
seperti makna kata pembangunan yang sering kita temukan di berbagai tempat yang
ditulis pada papan peringatan di tepi-tepi jalan: hati-hati sedang ada
pembangunan mall, jembatan, jalan raya, rumah ibadah, dan sebagainya. Selo
Sumardjan bahkan menceritakan tentang makna pembangunan pada masyarakat kecil
yang unik itu seperti cerita seorang penduduk miskin di sebuah kota kecil di
luar Jakarta. “Saya dulu tinggal di Jakarta. Akan tetapi, karena ada
pembangunan, saya terpaksa mengungsi kemari.”[1]
Secara umum makna
pembangunan adalah setiap usaha mewujudkan hidup yang lebih baik sebagaimana
yang didefinisikan oleh suatu negara “an increasing attainment of one’s own
cultural values”.[2]
Ini yang disebut sebagai cita-cita bangsa. Oleh karena itu, merujuk pada
konsepsi kenegaraan kita, tujuan akhir pembangunan bangsa Indonesia adalah
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang
tercantum pada sila terakhir Pancasila.
Dengan demikian,
pembangunan sangat berkaitan dengan nilai, dan acap kali bersifat
transendental, suatu gejala meta-disiplin, atau bahkan sebuah ideologi (the ideology of developmentalisme).
Oleh karenanya, para perumus kebijakan, perencana pembangunan, serta para pakar
selalu dihadapkan nilai (value choice),
mulai pada pilihan epistimologis-ontologi sebagai kerangka filosofisnya, sampai
pada derivasinya pada tingkat strategi, program, atau proyek. Pokok pikiran
pembangunan tertuju pada cita-cita keadilan sosial. Untuk itu, pembangunan
butuh proses dan tahapan terukur. Tahapan itu harus dapat menyentuh berbagai
bidang, yakni pertama ekonomi sebagai ukuran kemakmuran materiil. Kedua adalah
tahap kesejahteraan sosial. Ketiga adalah tahap keadilan sosial.
Salah satu solusi
dengan adanya pembangunan yaitu yang berparadigma kepada kebutuhan dasar dengan
berpandangan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi tercapai pada tingkat nasional
tetapi itu tidak menjamin bahwa kebutuhan dasar semua masyarakat otomatis
terpenuhi. Di balik pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kebutuhan pangan,
perumahan, kesehatan, dan pendidikan tetap saja tidak terpenuhi pada berbagai
lapisan masyarakat. Ini diperparah oleh tidak terpenuhinya kebutuhan dasar lain
seperti pemenuhan hak asasi manusia (terutama hak untuk bekerja, mencari nafkah
yang bermakna dan mengeluarkan pendapat), kebebasan dari ketakutan, kebebasan
dari ketergantungan, dan peningkatan harga diri. Karena itu, dianjurkan agar
pembangunan berfokus langsung pada pemenuhan kebutuhan dasar. Ideologi dari
paradigma ini adalah keterjaminan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
Rumusan masalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana hierarki kebutuhan menurut
Abraham Maslow?
2.
Bagaimana model pembangunan kebutuhan
dasar manusia?
3.
Bagaimana strategi pembangunan kebutuhan
dasar manusia sebagai alternative pembangunan?
4.
Bagaimana upaya pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan di Indonesia?
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk memahami hierarki kebutuhan menurut
Abraham Maslow;
2.
Untuk memahami model pembangunan kebutuhan
dasar manusia;
3.
Untuk memahami strategi pembangunan
kebutuhan dasar manusia sebagai alternative pembangunan; dan
4.
Untuk memahami upaya pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
1.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Hierarki Kebutuhan Maslow
Hierarki
kebutuhan Maslow adalah teori psikologi yang diperkenalkan oleh Abraham Maslow
dalam makalahnya, "A Theory of Human
Motivation", di Psychological
Review pada tahun 1943.[3] Ia beranggapan bahwa
kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup
terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi
menjadi hal yang memotivasi.[4]
Konsep
hierarki kebutuhan dasar ini bermula ketika Maslow melakukan observasi terhadap
perilaku monyet. Berdasarkan pengamatannya, didapatkan kesimpulan bahwa
beberapa kebutuhan lebih diutamakan dibandingkan dengan kebutuhan yang lain.
Contohnya jika individu merasa haus, maka individu akan cenderung untuk mencoba
memuaskan dahaga. Individu dapat hidup tanpa makanan selama berminggu-minggu.
Tetapi tanpa air, individu hanya dapat hidup selama beberapa hari saja karena
kebutuhan akan air lebih kuat daripada kebutuhan akan makan.[5]
Kebutuhan-kebutuhan
ini sering disebut Maslow sebagai kebutuhan-kebutuhan dasar yang digambarkan
sebagai sebuah hierarki atau tangga yang menggambarkan tingkat kebutuhan.
Terdapat lima tingkat kebutuhan dasar, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan
akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan
penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Maslow memberi hipotesis bahwa
setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat paling bawah, individu akan
memuaskan kebutuhan pada tingkat yang berikutnya.[6] Jika pada tingkat
tertinggi tetapi kebutuhan dasar tidak terpuaskan, maka individu dapat kembali
pada tingkat kebutuhan yang sebelumnya. Menurut Maslow, pemuasan berbagai
kebutuhan tersebut didorong oleh dua kekuatan yakni motivasi kekurangan (deficiency motivation) dan motivasi
perkembangan (growth motivation).[7] Motivasi kekurangan
bertujuan untuk mengatasi masalah ketegangan manusia karena berbagai kekurangan
yang ada. Sedangkan motivasi pertumbuhan didasarkan atas kapasitas setiap
manusia untuk tumbuh dan berkembang. Kapasitas tersebut merupakan pembawaan
dari setiap manusia.
2.1.1 Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)
Kebutuhan
paling dasar pada setiap orang adalah kebutuhan fisiologis yakni kebutuhan
untuk mempertahankan hidupnya secara fisik. Kebutuhan-kebutuhan itu seperti
kebutuhan akan makanan, minuman, tempat berteduh, tidur dan oksigen (sandang,
pangan, papan).[8]
Kebutuhan-kebutuhan fisiologis adalah potensi paling dasar dan besar bagi semua
pemenuhan kebutuhan di atasnya. Manusia yang lapar akan selalu termotivasi
untuk makan, bukan untuk mencari teman atau dihargai. Manusia akan mengabaikan
atau menekan dulu semua kebutuhan lain sampai kebutuhan fisiologisnya itu
terpuaskan. Di masyarakat yang sudah mapan, kebutuhan untuk memuaskan rasa lapar
adalah sebuah gaya hidup. Mereka biasanya sudah memiliki cukup makanan, tetapi
ketika mereka berkata lapar maka yang sebenarnya mereka pikirkan adalah
citarasa makanan yang hendak dipilih, bukan rasa lapar yang dirasakannya. Seseorang
yang sungguh-sungguh lapar tidak akan terlalu peduli dengan rasa, bau,
temperatur ataupun tekstur makanan.
Kebutuhan
fisiologis berbeda dari kebutuhan-kebutuhan lain dalam dua hal. Pertama,
kebutuhan fisiologis adalah satu-satunya kebutuhan yang bisa terpuaskan
sepenuhnya atau minimal bisa diatasi. Manusia dapat merasakan cukup dalam
aktivitas makan sehingga pada titik ini, daya penggerak untuk makan akan
hilang. Bagi seseorang yang baru saja menyelesaikan sebuah santapan besar, dan
kemudian membayangkan sebuah makanan lagi sudah cukup untuk membuatnya mual.
Kedua, yang khas dalam kebutuhan fisiologis adalah hakikat pengulangannya.
Setelah manusia makan, mereka akhirnya akan menjadi lapar lagi dan akan terus
menerus mencari makanan dan air lagi. Sementara kebutuhan di tingkatan yang
lebih tinggi tidak terus menerus muncul. Sebagai contoh, seseorang yang minimal
terpenuhi sebagian kebutuhan mereka untuk dicintai dan dihargai akan tetap
merasa yakin bahwa mereka dapat mempertahankan pemenuhan terhadap kebutuhan
tersebut tanpa harus mencari-carinya lagi.
2.1.2 Kebutuhan Akan Rasa Aman (Safety/Security Needs)
Setelah
kebutuhan-kebutuhan fisiologis terpuaskan secukupnya, muncullah apa yang
disebut Maslow sebagai kebutuhan-kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan-kebutuhan
akan rasa aman ini diantaranya adalah rasa aman fisik, stabilitas,
ketergantungan, perlindungan dan kebebasan dari daya-daya mengancam seperti
kriminalitas, perang, terorisme, penyakit, takut, cemas, bahaya, kerusuhan dan
bencana alam. Serta kebutuhan secara psikis yang mengancam kondisi kejiwaan
seperti tidak diejek, tidak direndahkan, tidak stres, dan lain sebagainya.
Kebutuhan akan rasa aman berbeda dari kebutuhan fisiologis karena kebutuhan ini
tidak bisa terpenuhi secara total. Manusia tidak pernah dapat dilindungi
sepenuhnya dari ancaman-ancaman meteor, kebakaran, banjir atau perilaku
berbahaya orang lain.
Menurut
Maslow, orang-orang yang tidak aman akan bertingkah laku sama seperti anak-anak
yang tidak aman. Mereka akan bertingkah laku seakan-akan selalu dalam keadaan
terancam besar. Seseorang yang tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan
dan stabilitas secara berlebihan serta akan berusaha keras menghindari hal-hal
yang bersifat asing dan yang tidak diharapkannya.
2.1.3 Kebutuhan Akan Rasa Memiliki
Dan Kasih Sayang (Social Needs)
Jika
kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi, maka
muncullah kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki. Kebutuhan-kebutuhan
ini meliputi dorongan untuk dibutuhkan oleh orang lain agar ia dianggap sebagai
warga komunitas sosialnya. Bentuk akan pemenuhan kebutuhan ini seperti
bersahabat, keinginan memiliki pasangan dan keturunan, kebutuhan untuk dekat
pada keluarga dan kebutuhan antarpribadi seperti kebutuhan untuk memberi dan
menerima cinta. Seseorang yang kebutuhan cintanya sudah relatif terpenuhi sejak
kanak-kanak tidak akan merasa panik saat menolak cinta. Ia akan memiliki
keyakinan besar bahwa dirinya akan diterima orang-orang yang memang penting bagi
dirinya. Ketika ada orang lain menolak dirinya, ia tidak akan merasa hancur.
Bagi Maslow, cinta menyangkut suatu hubungan sehat dan penuh kasih mesra antara
dua orang, termasuk sikap saling percaya. Sering kali cinta menjadi rusak jika
salah satu pihak merasa takut jika kelemahan-kelemahan serta kesalahan-kesalahannya.
Maslow juga mengatakan bahwa kebutuhan akan cinta meliputi cinta yang memberi
dan cinta yang menerima. Kita harus memahami cinta, harus mampu mengajarkannya,
menciptakannya dan meramalkannya. Jika tidak, dunia akan hanyut ke dalam gelombang
permusuhan dan kebencian.
2.1.4 Kebutuhan Akan Penghargaan (Esteem Needs)
Setelah
kebutuhan dicintai dan dimiliki tercukupi, selanjutnya manusia akan bebas untuk
mengejar kebutuhan egonya atas keinginan untuk berprestasi dan memiliki
prestise. Maslow menemukan bahwa setiap orang yang memiliki dua kategori
mengenai kebutuhan penghargaan, yaitu kebutuhan yang lebih rendah dan lebih
tinggi. Kebutuhan yang rendah adalah kebutuhan untuk menghormati orang lain, kebutuhan
akan status, ketenaran, kemuliaan, pengakuan, perhatian, reputasi, apresiasi,
martabat, bahkan dominasi. Kebutuhan yang tinggi adalah kebutuhan akan harga
diri termasuk perasaan, keyakinan, kompetensi, prestasi, penguasaan,
kemandirian dan kebebasan. Sekali manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk
dihargai, mereka sudah siap untuk memasuki gerbang aktualisasi diri, kebutuhan
tertinggi yang ditemukan Maslow.
2.1. 5 Kebutuhan Akan Aktualisasi
Diri (Self-actualization Needs)
Tingkatan
terakhir dari kebutuhan dasar Maslow adalah aktualisasi diri, yaitu kebutuhan
untuk membuktikan dan menunjukan dirinya kepada orang lain. Pada tahap ini,
seseorang mengembangkan semaksimal mungkin segala potensi yang dimilikinya.
Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak melibatkan keseimbangan,
tetapi melibatkan keinginan yang terus menerus untuk memenuhi potensi. Maslow
melukiskan kebutuhan ini sebagai hasrat untuk semakin menjadi diri sepenuh
kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya. Awalnya Maslow
berasumsi bahwa kebutuhan untuk aktualisasi diri langsung muncul setelah kebutuhan
untuk dihargai terpenuhi. Akan tetapi selama tahun 1960-an, ia menyadari bahwa
banyak anak muda di [Brandeis] memiliki pemenuhan yang cukup terhadap
kebutuhan-kebutuhan lebih rendah seperti reputasi dan harga diri, tetapi mereka
belum juga bisa mencapai aktualisasi diri.[9]
2.2 Model Pembangunan Kebutuhan Dasar
Manusia (Human Basic Needs)
Pembangunan
Kebutuhan Dasar Manusia (Human Basic
Needs) yaitu mode pembangunan yang dikenal dengan basic need (Islam dan Henault 1989:7). Model ini merupakan reaksi
dari ketidakberhasilan model pertumbuhan untuk memperbaiki tingkat hidup kaum
miskin. Dalam praktek dikemukakan bahwa tidak selalu laju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi menyebabkan income perkapita
tinggi dan sebaliknya.
Fokus
utama dari obyek pembangunan adalah penduduk miskin di dalam suatu negara. Jadi
penanggulangan kemiskinan bukan lagi merupakan trickle down effect tetapi direct
attack. Manifestasi dari model pembangunan ini adalah pemenuhan kebutuhan
pokok seperti kesempatan kerja dan berusaha, pemberantasan kelaparan dan
kekurangan gizi, pemeliharaan kesehatan, air bersih dan perumahan.
Kebijaksanaan tersebut dipandang sebagai strategi yang lebih baik bagi
negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya.
Model
pembangunan ini muncul pada tahun 1976, yaitu waktu diadakannya konferensi ILO
mengenai "World Employment
Conference Enthonement of Basic Need". Di sini, basic needs dijadikan acuan pembangunan nasional. Hal yang perlu
diingat dari implementasi model ini, yakni konsep basic needs harus dipandang
sebagai konsep yang dinamis.
Artinya
konsep itu mempunyai makna berubah-ubah. Sebagai misalnya dalam kurun waktu
tertentu konsep basic needs diartikan sebagai konsumsi 2000 kalori per hari,
tetapi dalam kurun waktu yang lain bisa jadi bukan hanya 2000 kalori per hari,
melainkan 2500 - 3000 kalori per hari. Dinamika dan konsep pembangunan ekonomi
dari suatu negara, yang dari satu waktu ke waktu yang lain bisa berbeda-beda
menuju ke tingkat kehidupan yang lebih baik.
Untuk
mencapai tujuan pembangunan dengan pendekatan model tersebut, pusat perhatian
administrasi pembangunan adalah pada deievery-service
system yang berhubungan langsung dengan kelompok sasaran pada organisasi
lokal dan sektoral. Sistem administrasi ini diharapkan dapat memahami hakekat
pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat secara memuaskan. Berikut paket program
lebih bersifat padat karya, skala kecil, bertumpu pada sumber regional,
berpusat pada desa, dan teknologi tepat guna.
Sistem
Administrasi pembangunan ini lebih banyak dipengaruhi oleh teori-teori yang
tergolong dalam paradigma kelembagaan, hubungan kemanusiaan. Karena itu tipe
administrator yang dibutuhkan adalah equitable
administrator yang benar-benar berorientasi kepada ide keadilan sosial (Hart
dalam Seri Monograf, 1989:8). Administrasi pembangunan dengan model pembangunan
tersebut menghendaki adanya langkah-langkah debirokratisasi, pengembangan
organisasi non birokrasi serta perilaku manajemen yang bersifat partisipatif
dan mendorong inisiatif. Perlu adanya perhatian terhadap aspek-aspek
desentralisasi, peningkatan kapasitas aparatur pemerintah lokal, partisipasi
lokal dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana.
Salah
satu manifestasi perubahan orientasi teori administrasi dalam penerapan model
pembangunan ini adalah munculnya pergeseran strategi perencanaan pembangunan
'yaitu dari strategi center down atau top down menjadi bottom-up, mass
participation seperti dikemukakan oleh Friedmann dan Weaver (1979 dalam Monograf,
1989:8). Pergeseran strategi dalam perencanaan pembangunan tersebut,
dilatarbelakangi oleh pengalaman perencanaan pembangunan yang diformulasikan
demikian hati-hati, akan tetapi gagal dalam pelaksanaannya dan bahkan ada
kecenderungan merintangi usaha-usaha pembangunan.
2.3 Strategi Pembangunan Kebutuhan
Dasar Manusia
Menurut
International Labour Organization
(ILO) kebutuhan dasar tidak hanya terkait pemenuhan kebutuhan dasar hidup
individu, tetapi juga kebutuhan untuk mengakses pelayanan mendasar. Empat
Kebutuhan Dasar menurut ILO:
1. Konsumsi
dasar personal (sandang, pangan, papan)
2. Akses
ke pelayanan dasar (air bersih, pendidikan sanitasi, dan kesehatan).
3. Akses
ke pekerjaan yang digaji.
4. Kebutuhan
kualitatif (lingkungan yg sehat dan aman, kemampuan. untuk turut serta dalam
pengambilan keputusan).
Salah
satu teori yang mencoba menyesaikan strategi pembangun dasar manusia adalah
teori pusat ke pinggiran yang diperkenalkan oleh Hirscman Myrdal. Hirscman
adalah seorang penganjur teori pertumbuhan tidak seimbang. Secara geografis,
pertumbuhan ekonomi pasti tidak seimbang. Dalam proses pertumbuhan tidak
seimbang selalu dapat dilihat bahwa kemajuan disuatu tempat (titik) menimbulkan
tekanan-tekanan, ketegangan-ketegangan, dan dorongan-dorongan kearah
perkembangan pada tempat-tempat (titik-titik) berikutnya. Hirscman (1958), menyadari
bahwa fungsi-fungsi ekonomi berbeda tingkat intensitasnya pada tempat yang
berbeda. Pertumbuhan ekonomi diutamakan pada titik originalnya sebelum disebarkan
ke berbagai tempat lainnya. Ia menggunakan istilah Titik Pertumbuhan (Growing Point) atau Pusat Pertumbuhan (Growing Centre).[10]
Di
sutau negara terdapat beberapa titik pertumbuhan, dimana industri berkelompok
ditempat itu, karena diperoleh beberapa manfaat dalam bentuk penghematan-penghematan
dan kemudahan-kemudahan. Kesempatan investasi, lapangan kerja dan upah buruh
relatif tinggi lebih banyak terdapat di pusat- pusat pertumbuhan dari pada
daerah belakang. Antara pusat dan daerah belakang terdapat ketergantungan dalam
suplai barang dan tenaga kerja. Pengaruh yang paling hebat adalah migrasi
penduduk ke kota-kota besar (urbanisasi) akan dapat mengabsorsikan tenaga kerja
yang terampil dan pihak lain akan mengurangi pengangguran tidak kentara di
daerah belakang. Hal ini tergantung pada tingkat koplementaritas antara dua
tempat tersebut.
Jika
komplementaritas kuat akan terjadi proses penyebaran pembangunan kedaerah-daerah
belakang (trikling down) dan sebaliknya
jika komplementaritas lemah akan terjadi pengaruh polarisasi.[11] Jika pengeruh polarisasi
lebih kuat dari pengaruh penyebaran pembangunan maka akan timbul masyarakat dualistik,
yaitu selain memiliki ciri-ciri daerah perkotaan modern juga memiliki daerah perdesaan
terbelakang.[12]
Walaupun terlihat suatu kecenderungan yang suram namun Hirschman optimis dan
percaya bahwa pengaruh trikling-down
akan mengatasi pengaruh polarisasi. Misalnya bila daerah perkotaan
berspesialisasi pada industri dan daerah perdesaan berspesialisasi pada
produksi primer, maka meluasnya permintaan daerah perkotaan harus mendorong
perkembangan daerah perdesaan, tetapi apa yang terjadi tidak seperti yang
diharapkan. Pada khususnya ada kemungkinan besar bahwa elastisitas penawaran
jangka pendek di daerah perdesaan adalah sedimikian rendah sehingga dasar
pertukaran akan berubah merugikan daerah perkotaan. Dalam jangka panjang penghematan-penghematan
ekstrnal dan tersedianya komplementaritas di pusat-pusat akan menjamin penyebaran
pembangunan ke daerah-daerah disekitarnya.
Pada
pihak lain, berdasarkan konseptual yang serupa mengenai struktur titik-titik pertumbuhan
dan daerah-daerah belakang, Myrdal (1957) menggunakan istilah Backwash effect dan spread effect yang artinya persis serupa dengan polarisasi dan pengaruh
trikling down. Namun demikian, dalam penekanan pembahasan dan kesimpulan-kesimpulan
terdapat perbedaan yang cukup besar. Analisa Myrdal memberikan kesan
pesimistis, ia berpendapat bahwa polarisasi muncul lebih kuat dari pada
penyebaran pembangunan, permintaan faktor-faktor produksi akan menumpuk di
daerah-daerah perkotaan yang memberikan manfaat kepadanya, dan sebaliknya di
daerah perdesaan yang tidak menguntungkan akan menipis.
Pesimisme
tersebut dapat dimaklumi karena Myrdal tidak memaklumi bahwa timbulnya titik
pertumbuhan adalah suatu hal yang tidak terelakkan dan merupakan syarat bagi
perkembangan selanjutnya dimana-mana. Pusat pemikiran Myrdal pada kausasi
komulatif menyebabkan ia tidak dapat melihat dengan titik balik apabila perkembangan
kearah polarisasi di suatu wilayah sudah berlangsung untuk beberapa waktu.
Kausasi sirkuler komulatif selalu meghasilkan penyebaran pembangunan yang lemah
dan tidak kemerataan, atau dapat dikatakan bahwa mobilitas akan memperbesar
ketimpangan pendapatan dan migrasi akan memperbesar ketimpangan regional.
Berdasarkan
pada perbedaan pandangan diatas, maka kebijaksanaan perspektif yang dianjurkan
oleh Hirschman dan Myrdal berbeda pula. Hirschman menyarankan agar membentuk
lebih banyak titik-titik pertumbuhan supaya dapat menciptakan pengaruh-pengaruh
penyebaran pembengunan yang efektif, sedangkan Myrdal menekankan pada
langkah-langkah kebijaksanaan unmtuk melemahkan backwash effets dan meperkuat sread
effeetc agar proses kausasi sirkuler kumulatif mengarah keatas, dengan
demikian semakin memperkecil ketimpangan regional.[13]
Gunnar
Myrdal (1957) dan Aschman (1958) dalam Keban (1995), menyerang pengertian equilibrium dalam teori ekonomi dan
mengemukakan ide-ide dasar tentang polarisasi pembangunan. Menurut pandangan Myrdal,
daerah-daerah inti dari perekonomian adalah magnet penguat dari kemajuan.
Myrdal mengemukakan bahwa setelah pertumbuhan dimulai pada lokasi yang dipilih
pada perekonomian bebas, arus masuk tenaga kerja, ketrampilan, modal dan
komoditi berkembang secara spontan untuk mendukungnya. Tetapi arus ini meliputi
efek backwash, ketidak samaan antara
daerah-daerah yang berkembang dengan daerah-daerah lain.
Daerah-daerah
yang sedang tumbuh mempengruhi daerah-daerah lain melalui dua kekuatan yang
berlawanan, menurut model Myrdal disebut Effect
backwash dan efek penyebaran (spread
effect dan backwash effect). Efek
penyebaran menunjukkan dampak yang menguntungkan dari daerah-daerah yang makmur
terhadap daerah-daerah yang kurang makmur, hal ini meliputi: meningkatnya
permintaan komoditi primer, investasi dan difusi ide serta tehnologi. Dalam
banyak negara-negara terbelakang, efek penyebaran terbatas pada daerah-daerah
disekitar pusat-pusat herarkhi perkotaan.
Hirschman
membantah bahwa memilih dan memusatkan aktivitasnya pada titik-titik
pertumbuhan adalah alami bagi para pengusaha. Pembangunan lama kelamaan tidak
berimbang, pertumbuhan daerah yang sedang berkembang membatasi kapasitas pertumbuhan
dimana-mana.[14]
Utara (North) menarik tenaga trampil dan tabungan dari selatan (south).
Elastisitas permintaan income lebih besar untuk barang-barang buatan north, dan
oleh karena itu syarat-syarat perdagangn melawan produsen south akan komoditi
primernya.[15]
Ide
pokok dari model Hirschman adalah bahwa efek polaritas disebabkan oleh “effect trickling down”, ekuivalen
dengan efek penyebaran dari Myrdal. Effect
trickling down meliputi tujuan komoditi North yang diproduksi di South dan
gerakan modal keselatan, disamping North dapat menarik tenaga selatan yang
cukup untuk menjamin meningkatnya produktivitas tenaga kerja marjinal dan
tingkat konsomsi perkapita South. Hischman bersikeras bahwa effect trickling down hanya bisa terjadi
bila di North membutuhkan South untuk ekspansinya sendiri.
2.4 Upaya Pemerintah Pembangunan
Kebutuhan Dasar Manusia
Pemerintah
telah mempersiapkan strategi untuk menekan jumlah kemiskinan di Indonesia.
Untuk diketahui, pada Maret 2018 kemiskinan di Indonesia menurun jadi 9,82
persen atau mencakup 25,9 juta penduduk Indonesia. Hal ini membutuhkan kinerja
dan usaha serius untuk kembali menurunkan angka kemiskinan di Indonesia.
Di
tataran ekonomi makro, pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif,
menjaga stabilitas makro ekonomi, stabilisasi harga, menciptakan lapangan kerja
produktif, menjaga iklim Investasi, menjaga regulasi perdagangan, meningkatkan
produktivltas sektor pertanian, dan mengembangkan infrastruktur wilayah
tertinggal.
Pemerintah
telah mempersiapkan 5 strategi untuk menekan jumlah kemiskinan di Indonesia.
Untuk diketahui, pada Maret 2018 kemiskinan di Indonesia menurun jadi 9,82
persen atau mencakup 25,9 juta penduduk Indonesia. Pertama, meningkatkan efektivitas penurunan kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi inklusif. Selanjutnya, untuk masyarakat miskin dan rentan,
pemerintah berupaya meningkatkan pendapatan dengan akses permodalan,
meningkatkan kualitas produk dan akses pemasaran, mengembangkan keterampilan
layanan usaha, serta mengembangkan kewirausahaan, kemitraan, dan keperantaraan.
Langkah
kedua untuk menekan jumlah
kemiskinan, pemerintah akan memantapkan kelompok menengah ke bawah juga
melakukan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di luar pulau Jawa untuk
memperkuat infrastruktur konektivitas yang menghubungkan antara pusat ekonomi
dan wilayah penunjang sekaligus memperkuat pengembangan produk lokal dan
jaringan rantai pasok produk ekspor terus dilaksanakan. Selain itu, penguatan
perekonomian Inspired middle Income class
diwujudkan melalui kemudahan izin usaha bagi pemula, penguatan usaha mikro dan
kecil serta pemberdayaan koperasi, serta peningkatan keahlian tenaga kerja dan
sertifikasi keahlian.
Selanjutnya
langkah ketiga ialah melakukan
reformasi anggaran subsidi. Alokasi untuk subsidi bahan bakar turun signifikan
sejak 2015. Alokasi subsidi dialihkan ke Dana Desa dan Transfer Daerah untuk
mengurangi ketimpangan. Reformasi subsidi terus dilakukan untuk memastikan
ketepatan sasaran, kesinambungan fiskal dan diversifikasi energi.
Sementara
itu langkah keempat yaitu peningkatan
anggaran perlindungan sosial. Pada periode 2010 hingga 2018, penurunan subsidi
yang signifikan, dari 3,4 persen menjadi 0,8 persen PDB pada periode 2015 dan
2018 dialokasikan untuk perlindungan sosial melalui premi asuransi kesehatan
untuk masyarakat miskin serta perluasan program bantuan sosial. Pada 2018,
anggaran yang cukup besar akan dialokasikan untuk infrastruktur dan investasi
ekonomi.
Terakhir
langkah kelima yaitu melakukan
penguatan ekonomi domestik dan tata kelola impor. Penguatan ekonomi domestik
diwujudkan melalui realisasi peningkatan kemudahan berusaha di daerah yang
dipantau dengan ketat, mengingat implementasinya sering tidak sesuai dengan
kebijakan pusat. Selain itu, pemerintah mendorong konsumsi masyarakat dengan
menjaga inflasi terutama dari tekanan sisi suplai melalui pengurangan hambatan
arus distribusi antarwilayah dan antarpulau, mengefektifkan TPID, serta
mendorong penyediaan produksi pangan dan bahan pokok lain.
Investor
domestik dan wirausaha lokal juga didorong untuk mengembangkan bisnis di
Indonesia. Pemerintah mengurangi tekanan impor melalui penerapan kewajiban
penyedia lapak online menjual barang lokal dengan komposisi minimal tertentu
serta kemudahan investasi sektor industri untuk menyediakan bahan baku yang
selama ini diimpor.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Kebutuhan-kebutuhan
dasar manusia menurut Maslow disebut sebagai kebutuhan-kebutuhan dasar yang
digambarkan sebagai sebuah hierarki atau tangga yang menggambarkan tingkat
kebutuhan. Terdapat lima tingkat kebutuhan dasar, yaitu: kebutuhan fisiologis,
kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang,
kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri.
Pembangunan
kebutuhan dasar manusia berfokus utama dari obyek pembangunan adalah penduduk
miskin di dalam suatu negara. Jadi penanggulangan kemiskinan bukan lagi
merupakan trickle down effect tetapi direct attack. Manifestasi dari model
pembangunan ini adalah pemenuhan kebutuhan pokok seperti kesempatan kerja dan
berusaha, pemberantasan kelaparan dan kekurangan gizi, pemeliharaan kesehatan,
air bersih dan perumahan. Kebijaksanaan tersebut dipandang sebagai strategi
yang lebih baik bagi negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya.
Menurut
International Labour Organization
(ILO) kebutuhan dasar tidak hanya terkait pemenuhan kebutuhan dasar hidup
individu, tetapi juga kebutuhan untuk mengakses pelayanan mendasar. Salah satu
strategi pembangunan kebutuhan dasar manusia adalah teori yang dikembangkan
Hirscman Myrdal yaitu teori pembangunan dari pusat wilayah ke pinggiran.
Solusi
yang dilakukan oleh pemerintah saat ini untuk menanggulangi kemiskinan sebagai
salah satu upaya pembangunan dasar sumber daya manusia adalah dengan lima (5)
strategi yaitu, meningkatkan efektivitas penurunan kemiskinan dan pertumbuhan
ekonomi inklusif, membangun insfrastruktur penunjang yang menghubungkan kota
dan desa, melakukan reformasi anggaran subsidi, peningkatan anggaran
perlindungan sosial, dan melakukan penguatan ekonomi domestik dan tata kelola
impor.
3.2 Saran
Berbagai problem tentang pemenuhan
dasar manusia masih sangat terkendala, baik dalam perencanaan, pengelolaan,
hingga evaluasi. Ini berimplikasi pada masih terjadinya kesenjangan sosial
masyarakat yang belum merata. Korupsi yang terus menjadi hantu masyarakat
hingga penyelahgunaan lainnya harus menjadi tugas bersama untuk bisa ditanggulangi.
Persoalan yang masih banyak di negeri ini soal pembangunan dasar kebutuhan
manusia harus menjadi kritik terhadap pemerintah dan masyarakat secara luas.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin, 1988; Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: STIE
YKPN. Forbes Dean K. 1991, Geografi keterbelakangan. Jakarta: LP3ES.
Budiman, Arif. 1996. Fungsi Tanah dan Kapitalis. Jakarta:
Sinar Grafika.
Freidmann,John and Clyde
Weaver. 1979. Territory and Function: the
Evolution of Regional Planning. Berkeley: University of California Press.
G. Goble, Frank (1987).
A. Supratiknya, ed. Mazhab Ketiga,
Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Kanisius.
Hammand, Charles Whyone.
1985; Element of Human Geography.
London: George Allen & UNWIN.
Hartiah Haroen, ed.
(2008). Teknik Prosedural Keperwatan:
Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Salemba Humanika.
Indra Catri, 1993; Teori dan Institusi Pengembangan Wilayah.
Institut Teknologi Bandung.
Indonesia Feist, Jess
(2010). Teori Kepribadian : Theories of
Personality. Salemba Humanika.
(Inggris) Plotnik, Rod
(2014). Introduction to Psychology,
10th Edition. Wadsworth.
Jhingan, M.L. 1993; Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Maslow, A.H. (1943). "A theory of human motivation".
Psychological Review. 50 (4): 370–96. via psychclassics.yorku.ca.
Moeljarto, Tjokrowinoto.
1996. Pembangunan Dilema dan Tantangan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Murtomo, 1988; Regional and Rural Development Planning
Series. Yogyakarta: UGM.
Rahmat Hidayat, Deden
(2011). Zaenudin A. Naufal, ed. Teori dan
Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam Konseling. Ghalia Indonesia.
[1] Arief Budiman, Fungsi Tanah dan Kapitalis. (Jakarta:
Sinar Grafika, 1996). Hlm. 1.
[2] Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema dan Tantangan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996). Hlm. 1.
[3] Maslow, A.H. (1943). "A theory of human motivation".
Psychological Review. 50 (4): 370–96. Via psychclassics.yorku.ca.
[4] Indonesia Feist, Jess (2010). Teori Kepribadian: Theories of Personality.
Salemba Humanika. hlm. 331.
[5] Rahmat Hidayat, Deden (2011).
Zaenudin A. Naufal, ed. Teori dan
Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam Konseling. Ghalia Indonesia. hlm.
165–166.
[6] (Inggris) Plotnik, Rod (2014). Introduction to Psychology, 10th Edition.
Wadsworth. hlm. 332.
[7] Hartiah Haroen, ed. (2008). Teknik Prosedural Keperwatan: Konsep dan
Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Salemba Humanika. hlm. 2.
[8] G. Goble, Frank (1987). A.
Supratiknya, ed. Mazhab Ketiga, Psikologi
Humanistik Abraham Maslow. Kanisius. hlm. 71.
[9] Ibid., hlm. 76-81.
[10] Freidmann, John and Clyde Weaver.
1979. Territory and Function: the
Evolution of Regional Planning. Berkeley: University of California Press.
Hlm. 76.
[11] Keban, Yeremias, T. 1995; Pembangunan Regional (Hand Out).
Yogyakarta: Fak. Pasca Sarjana UGM. Hlm. 55.
[12] Indra Catri, 1993; Teori dan Institusi Pengembangan Wilayah.
Institut Teknologi Bandung. Hlm. 90.
[13] Murtomo, 1988; Regional and Rural Development Planning
Series. Yogyakarta : UGM. Hlm. 102.
[14] Arsyad, Lincolin, 1988; Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: STIE
YKPN. Forbes Dean K. 1991, Geografi keterbelakangan. Jakarta: LP3ES. Hlm. 67.
[15] Jhingan, M.L. 1993; Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 87.