Pantaskah Hizbut Tahrir Indonesia, Dibubarkan?

by - 14.47



Hasil gambar untuk hti gambar
Jawapos.com



Oleh: Paelani Setia 

“Upaya untuk membawa pemerintahan di tingkat lokal, nasional, petugas keamanan khusunya militer, sangat jelas terlihat dan kita juga sudah melihat upaya Hizbut Tahrir untuk menempatkan pengaruhnya di level kabinet”. (Sidney Jones- Peneliti dan Pakar Terorisme).

Isu tentang HTI masih menjadi perbincangan panas. Dengan benturan ideologis hal ini malah menjadi lebih menarik karena selalu ada muatan politisnya di dalamnya terutama ketika ada kontestasi elektoral. Sementara itu, ada pihak-pihak lain yang menyoroti pembubaran HTI yang disebut bertentangan dengan demokrasi (kebebasan berserikat-berpendapat).

Isu HTI juga semakin santer dibicarakan publik dikarenakan semakin populernya istilah “khilafah” yang identik dengan cita-cita kelompok ini. Hal ini pula yang menjadi alasan pemerintah semakin giat memberantas radikalisme dan fundamentalisme terlebih lagi HTI ini dengan cita-citanya ingin mengganti sistem pemerintahan menjadi asas tunggal tanpa sekat wilayah di seluruh negara dengan mayoritas penduduk Muslim termasuk Indonesia.

Isu radikalisme menjadi fokus pemerintahan era Jokowi, terlebih kala empat menterinya bicara soal radikalisme, terutama yang paling kontroversial setelah ditunjuknya Jenderal TNI (Purn) Fahrul Razi menjadi menteri agama yang selain bicara radikalisme ia juga langsung mengusik dengan ‘larangan cadar dan celana cingkrang’ dalam ASN yang sontak menimbulkan pro-kontra. Khususnya, bicara radikalisme menteri Tito Karnavian (Mendagri), Mahfud MD (Menkopulhukam), Nadiem Makarim (Mendikbud), dan Prabowo (Menhan).

Khusus radikalisme-fundamentalisme memang menjadi pro-kontra hingga saat ini, terkhusus di Indonesia dimana pemerintah dianggap tidak memiliki definisi baku soal radikalisme dan cenderung adanya upaya pelarangan kebebasan dalam demokrasi. Radikalisme atau yang sering disamakan dengan fundamentalisme Islam saat ini menjadi isu paling banyak menarik dan dibahas berbabagi kalangan, dalam dan luar negeri. Pasca peristiwa 11 September 2001, yakni insiden robohnya gedung World Trade Center (WTC) dan Gedung Pentagon, pernyataan-pernyataan terkait dengan fundamentalisme Islam selalu mendapat perhatian yang sangat luas di seluruh dunia, tak terkecuali di dunia Islam sendiri (Mufti dan Rahman, 2019).

Lebih lanjut, Latar belakang munculnya kaum fundamentalis-radikalis memang cenderung muncul dari kalangan yang mendalami Islam yang berpendidikan non-agama, dalam artian tidak dibekali ilmu agama semacam tafsir dalam memahami ayat tertentu sehingga menyebabkan kecenderungan sangat literalis. Padahal, aplikasi hukum Islam dalam realitas sosial itu harus bersikap bijaksana (Rahman: 1995).

Lalu, bagaimanakah sejarah Hizbut Tahrir Indonesia ini harus dimaknai?

HTI tidak lepas dari Hizb ut-Tahrir (HT) yang didirikan pada 1953 oleh Taqiyuddin an-Nabhani seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina.

Hizbut Tahrir berati Liberation Party atau Partai Pembebasan. Gerakan ini menitikberatkan pada perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya Khilafah Islamiyah.

Sebagai ilustrasi, jika sebuah negara tradisional atau nation state adalah entitas yang memiliki batas wilayah dengan variabel-variabel yang mendukungnya sebagai sebuah negara, sistem khilafah adalah entitas tanpa batas yang beranggotakan negara-negara Islam dengan satu kepemimpinan tunggal. Konsekuensinya gerakan Hizbut Tahrir yang awalnya merupakan partai politik di Palestina menyebar dan punya sifat lintas batas negara (trans-nasional).

Secara garis besar tujuan Hizbut Tahrir adalah menghidupkan kembali konsep politik yang telah diwujudkan dalam sejarah kekuasaan Islam sejak era Nabi Muhammad Saw., sampai kejatuhan era imperium Turki Utsmani.

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Daulah Islam dan kitab Mafahim Hizbut Tahrir, umat Islam saat ini tidak tertarik dengan sistem khilafah karena tidak pernah meyaksikannya atau punya pengalaman dengan pemerintahan Islam. Karena gambaran tersebut membuat kaum muslim memilih falsafah hidup lain yang membuat kemurnian Islam menjadi terkikis. Sejalan demikian dengan an-Nabhani, imam al-Syatibi, juga menjelaskan arti penting dari kekuasaan (al-sultah) yaitu untuk menegakkan hukum (syari’ah) yang telah diturunkan Allah SWT untuk manusia. Namun, bedanya al-Syatibi menghendaki kekuasaan berlandaskan pada pemikiran yang menggabungkan keperluan manusiawi dan risalah Ilahi. Artinya, suatu hukum tidak mesti murni diambil dari Al-Qur;an dan as-Sunnah, melainkan disesuaikan dengan konteks kebutuhan suatu negara, meskipun sama-sama pentingnya menegakkan syariah yang berdasarkan ijtihad (Rahman: 2018).

Bagi Taqiyuddin, ini adalah kemunduran besar. Dibandingkan dengan ormas Islam seperti Nahdatul Ulama dan Muhamadiyah, usia Hizbut Tahrir Indonesia masih sangat muda. Organisasi ini masuk ke Indonesia pada 1983 oleh Abdurahman Al-Baghdadi seorang mubalig dan aktivis Hibut Tahrir yang berbasis di Australia.

Delphine Alles dalam Transnational Islamic Actors and Indonesia's Foreign Policy, menyebutkan bahwa al-Baghdadi bertemu dengan pimpinan pesantren Al-Ghazali Bogor KH Abdullah bin Nuh di Sydney, Australia, dan menjadi tonggak berdirinya HTI.

Ide tentang Negara Islam di Indonesia juga sempat muncul ketika Kartosoewirjo melakukan pemberontakan DI/TII pasca kemerdekaan. Perbedaannya bingkai gerakan Negara Islam Indonesia (NII) Kartosoewirjo masih mengakui batas-batas negara dengan mengganti sistem maupun dasar pemerintahannya saja, sedangkan Hizbut Tahrir Indonesia secara umum mengupayakan adanya kesatuan tunggal bagi seluruh umat Islam di dunia. Cita-cita HTI menerabas batas-batas geografis, kebudayaan, dan politik bangsa-bangsa, hal yang oleh beberapa pihak dianggap cenderung utopis.

Di Indoensia sendiri HTI menjalankan aktivitasnya lewat jalur akademis dan birokratis katakanlah lewat seminar dan forum-forum akademis lainnya. Delphine Alles juga menyebutkan lewat jalur ini, HTI menawarkan gagasan global caliphate atau kekhilafahan global sebagai solusi untuk seluruh persoalan yang dihadapi oleh manusia saat ini.

Awalnya HTI hanya ada di satu kota dengan belasan kader saja, namun pada 1990-an hingga 2000, HTI berkembang ke seluruh Indonesia dan tersebar di 33 provinsi dan 300-an kabupaten/kota. Delphine Alles menyebutkan ada sekitar 5000 masjid yang ketika bukunya diterbitkan pada 2015 telah menjadi tempat HTI menyebarkan pemikiran-pemikirannya di seluruh Indonesia, salah satu aktivitas besar yang pernah dilakukan oleh HTI adalah yang terjadi pada tahun 2007. Kala itu, sekitar 100 ribu anggotanya hadir dalam Konferensi Khilafah Internasional di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, dengan tajuk besar "Saatnya Khilafah Memimpin Dunia".

Nama HTI kemudian menguat pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Setelah aksi 212 yang fenomenal, ormas ini mendapatkan sorotan secara spesifik. Beberapa ormas Islam lain juga menunjukkan penolakannya terhadap keberadaan HTI. GP Ansor sebagai ormas kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama adalah salah satu yang cukup keras menolak HTI. Puncaknya adalah pada 19 Juli 2017, ketika mantan Menkopolhukam Wiranto mengumumkan secara resmi pembubaran HTI karena dianggap secara ideologis bertentangan dnegan Pancasila, berikut dikeluarkannya Perpu Ormas No. 2 tahun 2017.

Indonesia kemudian menjadi bagian dari daftar negara yang telah melarang Hizbut Tahrir, misalnya Turki, Mesir, Suriah, Lebanon, hingga Tiongkok. Menariknya, Arab Saudi juga menjadi salah satu negara yang melarang Hizbut Tahrir ini. Perlakukan yang berbeda justru diterima oleh Hizbut Tahrir di negara seperti Inggris dan Australia. Hizbut Tahrir di Inggris misalnya, mempunyai sekitar 11 ribu anggota, dan selain mendapatkan pendanaan dari iuran anggota, ormas ini juga juga mendapatkan bantuan dari negara dalam bentuk grant karena berbadan hukum resmi dan beraktivitas dalam damai atau tidak melanggar hukum.

Kini meski HTI resmi dibubarkan, pemerintah tetap dikritik, terutama dari kelompok-kelompok yang menganggap konteks pembubaran ini menjadi benturan bagi demokrasi. Sementara dilain pihak organisasi ini juga dituduh terlibat dalam gerakan melawan kekuasaan, seperti yang dituduhkan di balik tagar #2019GantiPresiden beberapa waktu sebelum Pilpres 2019. 

Selain itu, secara ideologis juga dianggap bertentangan dengan Pancasila. Adapun gugatan HTI atas pembubaran yang dilakukan oleh HTI telah ditolak oleh pengadilan dan dengan demikian menempatkan organisasi ini secara resmi sebagai ormas yang tidak berbadan hukum hingga saat ini. 

Meski begitu, sampai saat ini masih menjadi perbincangan panas di publik, pro kontra hadir di masyarakat. Mungkinkah, HTI bisa menegakkan syariah Islam dalam bingkai NKRI?

Padahal, dalam sejarahnya imperium Islam selalu menghadapi pluralisme. Ini terjadi kala Islam memerintah dengan cukup aman meskipun berbagai bangsa yang berbeda baik ras, etnis, dan bahasa. Ini diwujudkan dengan kontak dengan budaya lain, selain Arab-Islam, juga berinteraksi dengan agam lain (Rahman: 2010). Dinasti Abasiyah dengan berbagai keunggulannya bersifat terbuka terhadap budaya lain, seperti Eropa, sehingga mereka banyak belajar ke negeri Islam dan membawa ilmunya ke negara masing-masing. Begitupun menurut Ali Syariati yang mencontohkan Madinah sebagai model untuk negara Islam sebagai masyarakat ideal yang ditandai dengan adanya kehidupan sosial Islam serta ditandai dengan tauhid, ideologis Islam, adanya sekolah menengah, imam sebagai pemimpin, masyarakat yang harmonis, masyarakat kemandirian, dan ummah (Komunitas Muslim) (Rahman: 2016).


Referensi:
1. Mufti, Muslim, and M. Taufiq Rahman. "Fundamentalis dan Radikalis Islam di Tengah Kehidupan Sosial Indonesia." TEMALI: Jurnal Pembangunan Sosial 2.2 (2019): 204-218.
2. Rahman, MT. 2018. Pengantar Filsafat Sosial. Bandung: LEKKAS
3. Rahman, M. Taufiq, and Yusril Ihza Mahendra. "Fundamentalisme tidak lagi menjadi ideologi politik." (1995).
4. Rahman, M. Taufiq. "Pluralisme Politik." WAWASAN: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 34.1 (2010): 1-13.
5. Rahman, M. Taufiq. "Islam As An Ideal Modern Social System: A Study of Ali Shariati’s Thought." JISPO: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 6.1 (2016): 42-51.
6. PinterPolitik.com.
7. Delphine Alles, Transnational Islamic Actors and Indonesia's Foreign Policy: Transcending the State (Rethinking Southeast Asia) 1st Edition Routledge; 1 edition (December 14, 2015).
8. Daulah Islam Hizbut Tahrir Indonesia.
9. Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia.


You May Also Like

0 komentar