Jawapos.com |
Oleh: Paelani Setia
“Upaya untuk membawa
pemerintahan di tingkat lokal, nasional, petugas keamanan khusunya militer,
sangat jelas terlihat dan kita juga sudah melihat upaya Hizbut Tahrir untuk
menempatkan pengaruhnya di level kabinet”. (Sidney Jones- Peneliti dan
Pakar Terorisme).
Isu tentang HTI masih
menjadi perbincangan panas. Dengan benturan ideologis hal ini malah menjadi
lebih menarik karena selalu ada muatan politisnya di dalamnya terutama ketika
ada kontestasi elektoral. Sementara itu, ada pihak-pihak lain yang menyoroti
pembubaran HTI yang disebut bertentangan dengan demokrasi (kebebasan
berserikat-berpendapat).
Isu HTI juga semakin santer dibicarakan publik dikarenakan semakin populernya istilah “khilafah” yang identik dengan cita-cita kelompok ini. Hal ini pula yang menjadi alasan pemerintah semakin giat memberantas radikalisme dan fundamentalisme terlebih lagi HTI ini dengan cita-citanya ingin mengganti sistem pemerintahan menjadi asas tunggal tanpa sekat wilayah di seluruh negara dengan mayoritas penduduk Muslim termasuk Indonesia.
Isu radikalisme
menjadi fokus pemerintahan era Jokowi, terlebih kala empat menterinya bicara
soal radikalisme, terutama yang paling kontroversial setelah ditunjuknya
Jenderal TNI (Purn) Fahrul Razi menjadi menteri agama yang selain bicara
radikalisme ia juga langsung mengusik dengan ‘larangan cadar dan celana
cingkrang’ dalam ASN yang sontak menimbulkan pro-kontra. Khususnya, bicara
radikalisme menteri Tito Karnavian (Mendagri), Mahfud MD (Menkopulhukam), Nadiem
Makarim (Mendikbud), dan Prabowo (Menhan).
Khusus
radikalisme-fundamentalisme memang menjadi pro-kontra hingga saat ini,
terkhusus di Indonesia dimana pemerintah dianggap tidak memiliki definisi baku
soal radikalisme dan cenderung adanya upaya pelarangan kebebasan dalam
demokrasi. Radikalisme atau yang sering disamakan dengan fundamentalisme
Islam saat ini menjadi isu paling banyak menarik dan dibahas berbabagi
kalangan, dalam dan luar negeri. Pasca peristiwa 11 September 2001, yakni
insiden robohnya gedung World Trade Center (WTC) dan Gedung
Pentagon, pernyataan-pernyataan terkait dengan fundamentalisme Islam selalu
mendapat perhatian yang sangat luas di seluruh dunia, tak terkecuali di dunia
Islam sendiri (Mufti dan Rahman, 2019).
Lebih
lanjut, Latar belakang munculnya kaum fundamentalis-radikalis memang
cenderung muncul dari kalangan yang mendalami Islam yang berpendidikan
non-agama, dalam artian tidak dibekali ilmu agama semacam tafsir dalam memahami
ayat tertentu sehingga menyebabkan kecenderungan sangat literalis. Padahal,
aplikasi hukum Islam dalam realitas sosial itu harus bersikap bijaksana (Rahman: 1995).
Lalu, bagaimanakah
sejarah Hizbut Tahrir Indonesia ini harus dimaknai?
HTI tidak lepas dari
Hizb ut-Tahrir (HT) yang didirikan pada 1953 oleh Taqiyuddin an-Nabhani seorang
ulama alumni Al-Azhar Mesir dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di
Palestina.
Hizbut Tahrir berati Liberation Party atau Partai Pembebasan. Gerakan ini menitikberatkan pada perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya Khilafah Islamiyah.
Sebagai ilustrasi,
jika sebuah negara tradisional atau nation state adalah
entitas yang memiliki batas wilayah dengan variabel-variabel yang mendukungnya
sebagai sebuah negara, sistem khilafah adalah entitas tanpa batas yang
beranggotakan negara-negara Islam dengan satu kepemimpinan tunggal.
Konsekuensinya gerakan Hizbut Tahrir yang awalnya merupakan partai politik di
Palestina menyebar dan punya sifat lintas batas negara (trans-nasional).
Secara garis besar tujuan Hizbut Tahrir adalah menghidupkan kembali konsep politik yang telah diwujudkan dalam sejarah kekuasaan Islam sejak era Nabi Muhammad Saw., sampai kejatuhan era imperium Turki Utsmani.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Daulah Islam dan kitab Mafahim Hizbut Tahrir, umat Islam saat ini tidak tertarik dengan sistem khilafah karena tidak pernah meyaksikannya atau punya pengalaman dengan pemerintahan Islam. Karena gambaran tersebut membuat kaum muslim memilih falsafah hidup lain yang membuat kemurnian Islam menjadi terkikis. Sejalan demikian dengan an-Nabhani, imam al-Syatibi, juga menjelaskan arti penting dari kekuasaan (al-sultah) yaitu untuk menegakkan hukum (syari’ah) yang telah diturunkan Allah SWT untuk manusia. Namun, bedanya al-Syatibi menghendaki kekuasaan berlandaskan pada pemikiran yang menggabungkan keperluan manusiawi dan risalah Ilahi. Artinya, suatu hukum tidak mesti murni diambil dari Al-Qur;an dan as-Sunnah, melainkan disesuaikan dengan konteks kebutuhan suatu negara, meskipun sama-sama pentingnya menegakkan syariah yang berdasarkan ijtihad (Rahman: 2018).
Bagi Taqiyuddin, ini
adalah kemunduran besar. Dibandingkan dengan ormas Islam seperti Nahdatul Ulama
dan Muhamadiyah, usia Hizbut Tahrir Indonesia masih sangat muda. Organisasi ini
masuk ke Indonesia pada 1983 oleh Abdurahman Al-Baghdadi seorang mubalig dan
aktivis Hibut Tahrir yang berbasis di Australia.
Delphine Alles
dalam Transnational Islamic Actors and Indonesia's Foreign
Policy, menyebutkan bahwa al-Baghdadi bertemu dengan pimpinan
pesantren Al-Ghazali Bogor KH Abdullah bin Nuh di Sydney, Australia, dan
menjadi tonggak berdirinya HTI.
Ide tentang Negara
Islam di Indonesia juga sempat muncul ketika Kartosoewirjo melakukan
pemberontakan DI/TII pasca kemerdekaan. Perbedaannya bingkai gerakan Negara
Islam Indonesia (NII) Kartosoewirjo masih mengakui batas-batas negara dengan
mengganti sistem maupun dasar pemerintahannya saja, sedangkan Hizbut Tahrir
Indonesia secara umum mengupayakan adanya kesatuan tunggal bagi seluruh umat
Islam di dunia. Cita-cita HTI menerabas batas-batas geografis, kebudayaan, dan
politik bangsa-bangsa, hal yang oleh beberapa pihak dianggap cenderung utopis.
Di Indoensia sendiri
HTI menjalankan aktivitasnya lewat jalur akademis dan birokratis katakanlah
lewat seminar dan forum-forum akademis lainnya. Delphine Alles juga menyebutkan
lewat jalur ini, HTI menawarkan gagasan global caliphate atau
kekhilafahan global sebagai solusi untuk seluruh persoalan yang dihadapi oleh
manusia saat ini.
Awalnya HTI hanya ada
di satu kota dengan belasan kader saja, namun pada 1990-an hingga 2000, HTI
berkembang ke seluruh Indonesia dan tersebar di 33 provinsi dan 300-an
kabupaten/kota. Delphine Alles menyebutkan ada sekitar 5000 masjid yang ketika
bukunya diterbitkan pada 2015 telah menjadi tempat HTI menyebarkan
pemikiran-pemikirannya di seluruh Indonesia, salah satu aktivitas besar yang
pernah dilakukan oleh HTI adalah yang terjadi pada tahun 2007. Kala itu,
sekitar 100 ribu anggotanya hadir dalam Konferensi Khilafah Internasional di
Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, dengan tajuk besar "Saatnya Khilafah
Memimpin Dunia".
Nama HTI kemudian
menguat pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Setelah aksi 212 yang fenomenal, ormas
ini mendapatkan sorotan secara spesifik. Beberapa ormas Islam lain juga
menunjukkan penolakannya terhadap keberadaan HTI. GP Ansor sebagai ormas
kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama adalah salah satu yang cukup keras
menolak HTI. Puncaknya adalah pada 19 Juli 2017, ketika mantan Menkopolhukam
Wiranto mengumumkan secara resmi pembubaran HTI karena dianggap secara
ideologis bertentangan dnegan Pancasila, berikut dikeluarkannya Perpu Ormas No.
2 tahun 2017.
Indonesia kemudian
menjadi bagian dari daftar negara yang telah melarang Hizbut Tahrir, misalnya
Turki, Mesir, Suriah, Lebanon, hingga Tiongkok. Menariknya, Arab Saudi juga
menjadi salah satu negara yang melarang Hizbut Tahrir ini. Perlakukan yang
berbeda justru diterima oleh Hizbut Tahrir di negara seperti Inggris dan
Australia. Hizbut Tahrir di Inggris misalnya, mempunyai sekitar 11 ribu
anggota, dan selain mendapatkan pendanaan dari iuran anggota, ormas ini juga
juga mendapatkan bantuan dari negara dalam bentuk grant karena
berbadan hukum resmi dan beraktivitas dalam damai atau tidak melanggar hukum.
Kini meski HTI resmi
dibubarkan, pemerintah tetap dikritik, terutama dari kelompok-kelompok yang
menganggap konteks pembubaran ini menjadi benturan bagi demokrasi. Sementara
dilain pihak organisasi ini juga dituduh terlibat dalam gerakan melawan
kekuasaan, seperti yang dituduhkan di balik tagar #2019GantiPresiden beberapa
waktu sebelum Pilpres 2019.
Selain itu, secara ideologis juga dianggap bertentangan dengan Pancasila. Adapun gugatan HTI atas pembubaran yang dilakukan oleh HTI telah ditolak oleh pengadilan dan dengan demikian menempatkan organisasi ini secara resmi sebagai ormas yang tidak berbadan hukum hingga saat ini.
Meski begitu, sampai
saat ini masih menjadi perbincangan panas di publik, pro kontra hadir di
masyarakat. Mungkinkah, HTI bisa menegakkan syariah Islam dalam bingkai NKRI?
Padahal, dalam sejarahnya imperium Islam selalu menghadapi pluralisme. Ini terjadi kala Islam memerintah dengan cukup aman meskipun berbagai bangsa yang berbeda baik ras, etnis, dan bahasa. Ini diwujudkan dengan kontak dengan budaya lain, selain Arab-Islam, juga berinteraksi dengan agam lain (Rahman: 2010). Dinasti Abasiyah dengan berbagai keunggulannya bersifat terbuka terhadap budaya lain, seperti Eropa, sehingga mereka banyak belajar ke negeri Islam dan membawa ilmunya ke negara masing-masing. Begitupun menurut Ali Syariati yang mencontohkan Madinah sebagai model untuk negara Islam sebagai masyarakat ideal yang ditandai dengan adanya kehidupan sosial Islam serta ditandai dengan tauhid, ideologis Islam, adanya sekolah menengah, imam sebagai pemimpin, masyarakat yang harmonis, masyarakat kemandirian, dan ummah (Komunitas Muslim) (Rahman: 2016).
Referensi:
1. Mufti, Muslim, and M. Taufiq Rahman. "Fundamentalis
dan Radikalis Islam di Tengah Kehidupan Sosial Indonesia." TEMALI:
Jurnal Pembangunan Sosial 2.2 (2019): 204-218.
2. Rahman, MT. 2018. Pengantar Filsafat Sosial. Bandung: LEKKAS
3.
Rahman, M. Taufiq, and Yusril Ihza Mahendra. "Fundamentalisme tidak lagi
menjadi ideologi politik." (1995).
4. Rahman, M. Taufiq. "Pluralisme Politik." WAWASAN: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 34.1 (2010): 1-13.
4. Rahman, M. Taufiq. "Pluralisme Politik." WAWASAN: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 34.1 (2010): 1-13.
5.
Rahman, M. Taufiq. "Islam As An Ideal Modern Social System: A Study of Ali
Shariati’s Thought." JISPO: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 6.1
(2016): 42-51.
6. PinterPolitik.com.
7. Delphine
Alles, Transnational Islamic Actors and Indonesia's Foreign
Policy: Transcending the State (Rethinking Southeast Asia) 1st
Edition Routledge; 1 edition
(December 14, 2015).
8. Daulah Islam Hizbut
Tahrir Indonesia.
9. Mafahim Hizbut Tahrir
Indonesia.