Ramadhan Menurut Perspektif 'Sosiologi'

by - 18.35

RAMADHAN MENURUT PERSPEKTIF SOSIOLOGI
Oleh; Paelani Setia

Fenomena bulan suci Ramadhan yang sebentar lagi akan kita hadapi bersama selalu menghadirkan pernak-pernik dan nuansa yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Tak heran apabila Ramadhan menjadi ajang komodifikasi yang sangat laku di pasaran dalam berbagai aspek kehidupan. Sebab Ramadhan hadir dalam wujud dialektis antara wahyu Tuhan (puasa) dengan nilai-nilai budaya masyarakat. Antara entitas yang sakral dengan bungkus yang khas. Antara penghambaan ilahiyah dan kesadaran sebagai manusia. Dalam konteks inilah entitas yang sakral (puasa, tarawih, dan lainnya) memiliki peranan penting sebagai tindakan simbolik yang merepresentasikan makna agama, makna yang tentunya berimplikasi kualitatif dan makna yang tidak sekedar berdimensi teologis semata. Karena hakikat berpuasa bukan sekedar ritual keagamaan, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai kesadaran hidup, toleran, dan kebersamaan yang relevan dengan nilai-nilai kebangsaan dengan semangat ukhuwah yang dalam kondisi nyata saat ini tengah rapuh, mencair, dan kian semerawut.
Pada bagian ini ibadah puasa diharapkan benar-benar dilakukan dengan sebaik-baiknya imanan wahtisaban agar puasa yang kita lakukan dapat mengurai problematika negara yang kian kompleks. Dari demoralisasi individu hingga sosial, dari korupsi hingga konflik, baik yang bersifat horizontal (komunal-sosial) maupun vertikal (politik) yang terjadi hampir di seluruh pelosok negeri. Dengan demikian substansi ibadah puasa memiliki implikasi reformatif bagi perilaku dan moralitas kita sehari-hari. Ini sungguh penting, karena Nabi Muhammad Saw. pernah mengingatkan kita dalam salah satu haditsnya bahwa, "Sekian banyak orang menjalankan puasa, tetapi mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga".
Berangkat dari hadits tersebut, Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin-nya, membagi tingkat puasa ke dalam tiga kualifikasi. Pertama, puasa am, yaitu puasa yang dilakukan sebatas menahan diri dari makan, minum, dan seks. Kedua, puasa khash, yaitu puasa yang dilakukan selain dengan menahan diri dari ketiga hal di atas, juga menjaga penglihatan, pendengaran, dan ucapan yang berbau maksiat. Ketiga, puasa khawasul khawas, yakni puasa yang dilakukan bukan hanya menahan diri dari ketiga hal pertama dan kedua, tetapi diikuti juga dengan menjaga suasana hati atau batin dari hal-hal yang rendah, demoralisasi, berorientasi materialis, dan berbagai kecenderungan hati yang destruktif-anarkis. Dalam hal ini, pastinya kita ingin menjalankan ibadah puasa dengan kualitas khawasul khawas. Yakni puasa yang memiliki makna kualitatif, puasa yang membawa berkah bagi kita semua sesuai dengan janji Allah Swt. dan Hadits Nabi Muhammad Saw. ”Berpuasa akan bermanfaat secara biopsikososial berupa sehat jasmani, rohani dan sosial (al-Hadits)."
Konsekuensi logis puasa kualitas khowasul khawas secara moral di antaranya adalah pemaknaan yang mendalam terhadap hakikat kesadaran yang secara kontekstual hanya akan terbentuk melalui jiwa-jiwa yang mampu memahami makna spirituality dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, puasa mengajarkan kita untuk senantiasa menjadi hamba yang sadar akan eksistensi diri dan peka terhadap kehidupan sosial, selain bentuk penghambaan kepada Tuhan. Oleh karena itulah term takwa (Q.S. Al-Baqarah: 183) menjadi terminal akhir ibadah puasa. Di sinilah dimensi teologis puasa bertemu dengan dimensi sosiologisnya. Di mana ibadah puasa diharapkan mampu menjadikan pelakunya melihat dan membuka nuraninya untuk membenahi moralitas bangsa yang semakin amburadul.
Dengan demikian ibadah puasa di tengah masyarakat sekarang yang tengah mengalami pemiskinan spiritual diharapkan mampu menggerakkan seluruh potensi negara dan bangsa menuju bangsa yang berkeadaban, etis, demokratis, dan egaliterian sesuai titah Allah Yang Maha Kuasa. Melalui pemahaman semacam ini, makna hakiki kemerdekaan dan nilai-nilai kebangsaan disemaikan lewat ibadah puasa. Artinya puasa memberikan warna kepada kita tentang makna terdalam kompleksitas hidup dalam universitas kehidupan. Pada titik ini pula puasa merupakan amanah terbesar bagi kita untuk bangkit dari segala keterpurukan dan ketidakadilan. "Puasa adalah amanah, hendaknya setiap manusia menunaikan amanahnya masing-masing dengan sebaik-baiknya (HR. Ibnu Mas’ud dalam Makarim Akhlaq)."
Akhirnya semoga momentum ibadah Ramadhan yang sebentar lagi kita hadapi dapat kita jadikan sebagai momentum untuk berbenah diri, evaluasi diri, dan merefleksikan diri, dan mewujudkan kehidupan Islam baik sebagai individu maupun sebagai bangsa yang tengah mengalami kerentanan (vulnerability), kelesuan, keminderan dan kegairahan untuk membangun peradaban yang cemerlang. Salah satu caranya adalah dengan memberanikan diri untuk melakukan lompatan sejarah dengan memperbaiki sistem birokratisasi, politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan tentunya untuk cita-cita mulia Islam Rahmatan Lilalamin.


RAMADHAN MENURUT PERSPEKTIF SOSIOLOGI
Fenomena bulan suci Ramadhan yang sebentar lagi akan kita hadapi bersama selalu menghadirkan pernak-pernik dan nuansa yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Tak heran apabila Ramadhan menjadi ajang komodifikasi yang sangat laku di pasaran dalam berbagai aspek kehidupan. Sebab Ramadhan hadir dalam wujud dialektis antara wahyu Tuhan (puasa) dengan nilai-nilai budaya masyarakat. Antara entitas yang sakral dengan bungkus yang khas. Antara penghambaan ilahiyah dan kesadaran sebagai manusia. Dalam konteks inilah entitas yang sakral (puasa, tarawih, dan lainnya) memiliki peranan penting sebagai tindakan simbolik yang merepresentasikan makna agama, makna yang tentunya berimplikasi kualitatif dan makna yang tidak sekedar berdimensi teologis semata. Karena hakikat berpuasa bukan sekedar ritual keagamaan, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai kesadaran hidup, toleran, dan kebersamaan yang relevan dengan nilai-nilai kebangsaan dengan semangat ukhuwah yang dalam kondisi nyata saat ini tengah rapuh, mencair, dan kian semerawut.
Pada bagian ini ibadah puasa diharapkan benar-benar dilakukan dengan sebaik-baiknya imanan wahtisaban agar puasa yang kita lakukan dapat mengurai problematika negara yang kian kompleks. Dari demoralisasi individu hingga sosial, dari korupsi hingga konflik, baik yang bersifat horizontal (komunal-sosial) maupun vertikal (politik) yang terjadi hampir di seluruh pelosok negeri. Dengan demikian substansi ibadah puasa memiliki implikasi reformatif bagi perilaku dan moralitas kita sehari-hari. Ini sungguh penting, karena Nabi Muhammad Saw. pernah mengingatkan kita dalam salah satu haditsnya bahwa, "Sekian banyak orang menjalankan puasa, tetapi mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga".
Berangkat dari hadits tersebut, Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin-nya, membagi tingkat puasa ke dalam tiga kualifikasi. Pertama, puasa am, yaitu puasa yang dilakukan sebatas menahan diri dari makan, minum, dan seks. Kedua, puasa khash, yaitu puasa yang dilakukan selain dengan menahan diri dari ketiga hal di atas, juga menjaga penglihatan, pendengaran, dan ucapan yang berbau maksiat. Ketiga, puasa khawasul khawas, yakni puasa yang dilakukan bukan hanya menahan diri dari ketiga hal pertama dan kedua, tetapi diikuti juga dengan menjaga suasana hati atau batin dari hal-hal yang rendah, demoralisasi, berorientasi materialis, dan berbagai kecenderungan hati yang destruktif-anarkis. Dalam hal ini, pastinya kita ingin menjalankan ibadah puasa dengan kualitas khawasul khawas. Yakni puasa yang memiliki makna kualitatif, puasa yang membawa berkah bagi kita semua sesuai dengan janji Allah Swt. dan Hadits Nabi Muhammad Saw. ”Berpuasa akan bermanfaat secara biopsikososial berupa sehat jasmani, rohani dan sosial (al-Hadits)."
Konsekuensi logis puasa kualitas khowasul khawas secara moral di antaranya adalah pemaknaan yang mendalam terhadap hakikat kesadaran yang secara kontekstual hanya akan terbentuk melalui jiwa-jiwa yang mampu memahami makna spirituality dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, puasa mengajarkan kita untuk senantiasa menjadi hamba yang sadar akan eksistensi diri dan peka terhadap kehidupan sosial, selain bentuk penghambaan kepada Tuhan. Oleh karena itulah term takwa (Q.S. Al-Baqarah: 183) menjadi terminal akhir ibadah puasa. Di sinilah dimensi teologis puasa bertemu dengan dimensi sosiologisnya. Di mana ibadah puasa diharapkan mampu menjadikan pelakunya melihat dan membuka nuraninya untuk membenahi moralitas bangsa yang semakin amburadul.
Dengan demikian ibadah puasa di tengah masyarakat sekarang yang tengah mengalami pemiskinan spiritual diharapkan mampu menggerakkan seluruh potensi negara dan bangsa menuju bangsa yang berkeadaban, etis, demokratis, dan egaliterian sesuai titah Allah Yang Maha Kuasa. Melalui pemahaman semacam ini, makna hakiki kemerdekaan dan nilai-nilai kebangsaan disemaikan lewat ibadah puasa. Artinya puasa memberikan warna kepada kita tentang makna terdalam kompleksitas hidup dalam universitas kehidupan. Pada titik ini pula puasa merupakan amanah terbesar bagi kita untuk bangkit dari segala keterpurukan dan ketidakadilan. "Puasa adalah amanah, hendaknya setiap manusia menunaikan amanahnya masing-masing dengan sebaik-baiknya (HR. Ibnu Mas’ud dalam Makarim Akhlaq)."
Akhirnya semoga momentum ibadah Ramadhan yang sebentar lagi kita hadapi dapat kita jadikan sebagai momentum untuk berbenah diri, evaluasi diri, dan merefleksikan diri, dan mewujudkan kehidupan Islam baik sebagai individu maupun sebagai bangsa yang tengah mengalami kerentanan (vulnerability), kelesuan, keminderan dan kegairahan untuk membangun peradaban yang cemerlang. Salah satu caranya adalah dengan memberanikan diri untuk melakukan lompatan sejarah dengan memperbaiki sistem birokratisasi, politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan tentunya untuk cita-cita mulia Islam Rahmatan Lilalamin.


RAMADHAN MENURUT PERSPEKTIF SOSIOLOGI
Fenomena bulan suci Ramadhan yang sebentar lagi akan kita hadapi bersama selalu menghadirkan pernak-pernik dan nuansa yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Tak heran apabila Ramadhan menjadi ajang komodifikasi yang sangat laku di pasaran dalam berbagai aspek kehidupan. Sebab Ramadhan hadir dalam wujud dialektis antara wahyu Tuhan (puasa) dengan nilai-nilai budaya masyarakat. Antara entitas yang sakral dengan bungkus yang khas. Antara penghambaan ilahiyah dan kesadaran sebagai manusia. Dalam konteks inilah entitas yang sakral (puasa, tarawih, dan lainnya) memiliki peranan penting sebagai tindakan simbolik yang merepresentasikan makna agama, makna yang tentunya berimplikasi kualitatif dan makna yang tidak sekedar berdimensi teologis semata. Karena hakikat berpuasa bukan sekedar ritual keagamaan, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai kesadaran hidup, toleran, dan kebersamaan yang relevan dengan nilai-nilai kebangsaan dengan semangat ukhuwah yang dalam kondisi nyata saat ini tengah rapuh, mencair, dan kian semerawut.
Pada bagian ini ibadah puasa diharapkan benar-benar dilakukan dengan sebaik-baiknya imanan wahtisaban agar puasa yang kita lakukan dapat mengurai problematika negara yang kian kompleks. Dari demoralisasi individu hingga sosial, dari korupsi hingga konflik, baik yang bersifat horizontal (komunal-sosial) maupun vertikal (politik) yang terjadi hampir di seluruh pelosok negeri. Dengan demikian substansi ibadah puasa memiliki implikasi reformatif bagi perilaku dan moralitas kita sehari-hari. Ini sungguh penting, karena Nabi Muhammad Saw. pernah mengingatkan kita dalam salah satu haditsnya bahwa, "Sekian banyak orang menjalankan puasa, tetapi mereka hanya mendapatkan lapar dan dahaga".
Berangkat dari hadits tersebut, Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin-nya, membagi tingkat puasa ke dalam tiga kualifikasi. Pertama, puasa am, yaitu puasa yang dilakukan sebatas menahan diri dari makan, minum, dan seks. Kedua, puasa khash, yaitu puasa yang dilakukan selain dengan menahan diri dari ketiga hal di atas, juga menjaga penglihatan, pendengaran, dan ucapan yang berbau maksiat. Ketiga, puasa khawasul khawas, yakni puasa yang dilakukan bukan hanya menahan diri dari ketiga hal pertama dan kedua, tetapi diikuti juga dengan menjaga suasana hati atau batin dari hal-hal yang rendah, demoralisasi, berorientasi materialis, dan berbagai kecenderungan hati yang destruktif-anarkis. Dalam hal ini, pastinya kita ingin menjalankan ibadah puasa dengan kualitas khawasul khawas. Yakni puasa yang memiliki makna kualitatif, puasa yang membawa berkah bagi kita semua sesuai dengan janji Allah Swt. dan Hadits Nabi Muhammad Saw. ”Berpuasa akan bermanfaat secara biopsikososial berupa sehat jasmani, rohani dan sosial (al-Hadits)."
Konsekuensi logis puasa kualitas khowasul khawas secara moral di antaranya adalah pemaknaan yang mendalam terhadap hakikat kesadaran yang secara kontekstual hanya akan terbentuk melalui jiwa-jiwa yang mampu memahami makna spirituality dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, puasa mengajarkan kita untuk senantiasa menjadi hamba yang sadar akan eksistensi diri dan peka terhadap kehidupan sosial, selain bentuk penghambaan kepada Tuhan. Oleh karena itulah term takwa (Q.S. Al-Baqarah: 183) menjadi terminal akhir ibadah puasa. Di sinilah dimensi teologis puasa bertemu dengan dimensi sosiologisnya. Di mana ibadah puasa diharapkan mampu menjadikan pelakunya melihat dan membuka nuraninya untuk membenahi moralitas bangsa yang semakin amburadul.
Dengan demikian ibadah puasa di tengah masyarakat sekarang yang tengah mengalami pemiskinan spiritual diharapkan mampu menggerakkan seluruh potensi negara dan bangsa menuju bangsa yang berkeadaban, etis, demokratis, dan egaliterian sesuai titah Allah Yang Maha Kuasa. Melalui pemahaman semacam ini, makna hakiki kemerdekaan dan nilai-nilai kebangsaan disemaikan lewat ibadah puasa. Artinya puasa memberikan warna kepada kita tentang makna terdalam kompleksitas hidup dalam universitas kehidupan. Pada titik ini pula puasa merupakan amanah terbesar bagi kita untuk bangkit dari segala keterpurukan dan ketidakadilan. "Puasa adalah amanah, hendaknya setiap manusia menunaikan amanahnya masing-masing dengan sebaik-baiknya (HR. Ibnu Mas’ud dalam Makarim Akhlaq)."
Akhirnya semoga momentum ibadah Ramadhan yang sebentar lagi kita hadapi dapat kita jadikan sebagai momentum untuk berbenah diri, evaluasi diri, dan merefleksikan diri, dan mewujudkan kehidupan Islam baik sebagai individu maupun sebagai bangsa yang tengah mengalami kerentanan (vulnerability), kelesuan, keminderan dan kegairahan untuk membangun peradaban yang cemerlang. Salah satu caranya adalah dengan memberanikan diri untuk melakukan lompatan sejarah dengan memperbaiki sistem birokratisasi, politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan tentunya untuk cita-cita mulia Islam Rahmatan Lilalamin.


You May Also Like

0 komentar