Charles Wright Mills: Konflik Elit dan Sociological Imagination

by - 03.15

Charles Wright Mills
Oleh: Paelani Setia

Image result for wright mills
Selama ini, tujuan-tujuan pembelajaran sosiologi selalu dirumuskan secara praktis melalui jalur atau cara di luar disiplin sosiologi. Rumusan tujuan-tujuan itu bersifat umum dan tidak menunjukkan kekhasan yang membedakan sosiologi dengan disiplin lainnya. Banyak orang, misalnya, yang secara sederhana menjelaskan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat dan fakta sosial. Rumusan ini memiliki dua kesalahan yakni: bahwa di satu sisi ia terlampau umum dan tidak bisa secara jernih dan spesifik membedakan sosiologi misalnya dengan etnografi yang sama-sama mempelajari masyarakat. Di saat yang sama rumusan itu juga terlalu sempit ketika menyebut sosiologi mempelajari fakta sosial mengingat ada banyak pemikir sosiologi dari klasik hingga kontemporer yang sama sekali membantah bahwa fakta sosial adalah subject matter sosiologi. Marx misalnya lebih menekankan formasi sosial dan mode produksi masyarakat, sementara Weber misalnya lebih menekankan tindakan sosial yang dimaknai sebagai subject matter sosiologi. Di sini, tujuan pembelajaran sosiologi mestinya dirumuskan di dalam sosiologi tapi sekaligus dengan melampaui perbedaan mazhab serta variasi paradigmatis dari para pemikir sosiologi yang beragam.

Dalam praktik, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi pembelajaran sosiologi bahkan sering dilakukan dalam kekaburan yang menunjukkan keraguan bahkan dari guru dan dosen terhadap substansi, disiplin dan kegunaan pelajaran itu. Hal ini nampak dari fakta bahwa guru dan dosen biasanya sering mencampur-aduk antara subject matter sosiologi dengan tujuan pembelajaran sosiologi; antara obyek pikiran dalam sosiologi dengan kualitas berfikir yang hendak dicapai oleh pembelajaran sosiologi. Ketika guru misalnya mengatakan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat, maka hampir pasti guru akan kesulitan menjawab pertanyaan berikut: apa pentingnya, apa gunanya mempelajari masyarakat?  Kesulitan muncul pertama persis karena bisa saja guru juga tidak yakin bahwa mempelajari masyarakat itu penting. Kedua, karena banyak kita memang sedari awal telah salah paham karena menempatkan ‘mempelajari masyarkat’ sebagai tujuan sekaligus subject matter sosiologi. “Mempelajari masyarakat’ untuk satu perspektif memang adalah materi utama sosiologi, tapi ia bukan tujuan dari pembelajaran yang khas sosiologi. Dalam banyak percakapan pengantar antara guru dengan murid di kelas, topik ini yang lebih banyak diungkap sementara apa dan bagaimana tujuan mempelajari sosiologi tidak pernah diungkap secara benar dan tepat. Akibatnya, selama bertahun-tahun siswa juga memandang sosiologi sebagai pelajaran yang penuh kekaburan, abstrak, umum dan kurang penting, kurang berguna.

Dengan kekaburan macam itu, efek epistemic mengenai guna pengetahuan sosiologi bagi kualitas pikiran siswa– secara subyektif-memang menjadi tidak terjelaskan. Pada matematika atau bahasa Inggris aspek estetis dan efek epistemic terasa jelas; Setelah belajar matematik bisa menghitung dan memecahkan rumus; setelah belajar bahasa Inggris bisa mendapat kosa kata baru, sementara pada sosiologi setelah belajar Parsons saya bisa apa? Apa yang berubah pada saya kalau saya mengetahui atau hafal semua teori itu? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menggantung, sementara kita hanya menjawab dengan bulak-balik menyodorkan ‘masyarakat’, masyarakat dan masyarakat.

Untuk itu penelusuran epsitemis diperlukan untuk bisa menemukan tujuan pembelajaran sosiologi yang jelas dan khas sosiologi sekaligus merangkum semua pendirian dalam berbagai teori sosiologi yang terus muncul dan berkembang hingga saat ini. Untuk itu, dalam diskusi ini, saya hendak mengajukankembali konsep lama yang dikemukakan oleh sosiolog Amerika C Wright Mills mengenai Imajinasi Sosiologis. Saya ingin menekankan bahwa– dengan mengikuti Mills, selayaknya tujuan pembelajaran sosiologi mesti dirumuskan sebagai upaya untuk membangun/membentuk/memberdayakan imajinasi sosiologis.  Imajinasi sosiologis di sini dimengerti sebagai kualitas pikiran atau kapasitas intelek tertentu yang memungkinkan orang memahami diri, sejarah serta dunia atau struktur masyarakat secara simultan. Imjinasi sosilogis sebagai kemampuan untuk mentransformasikan perkara atau soal-soal yang semula ‘polos’ menjadi soal-soal kepublikan yang mengundang perhatian. Kelas menengah baru telah lahir sebagai bagian dari penduduk

Biografi C. Wright Mills

Charles Wright Mills berasal dari latar belakang kelas menengah konvensional. Ayahnya adalah seorang pialang asuransi, dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Ia lahir di sebuah daerah di Waco, Texas pada tanggal 26 Agustus 1916. Ia juga menempuh pendidikan di Universitas Texas ketika tahun 1939 dan mendapat ijazah sarjana dan masternya. Ia juga menempuh pendidikan di program doktoral dan mendapat gelar doktor dari Universitas Wisconsin. Ia menghabiskan karirnya di Universitas Colombia hingga wafat di tahun 1962. Tokoh-tokoh panutannya adalah Max Weber dan Karl Marx. Gaya intelektual Wright Mills adalah pragmatism Mills adalah tokoh yang kontroversial dan tidak terlalu disukai di kalangan akademisi. Karirnya ditandai dengan keterasingan, gesekan, dan hubungan tidak harmonis dengan akademisi lainnya. Mills mendapatkan posisi di University of Maryland, kemudian pindah ke Columbia University, dan tinggal di negara itu hingga akhir hayatnya. Di Kolumbia, ia terkenal sebagai kritikus sosial. Mills juga merupakan seorang penulis yang baik.

Ia menuliskan gagasannya dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami. Mills menulis beberapa topik, misalnya tentang birokrasi, kekuasaan dan otoritas, elit sosial, pekerja kerah putih, rasionalisasi, masalah sosial, komunisme, perang dingin, ideologi, ilmu-ilmu sosial yang lain, dan sosiologi itu sendiri. Selama di Kolumbia, Mills menerbitkan beberapa karya pentingnya, antara lain The Power Elite (1956) yang membahas organisasi kekuasaan di Amerika Serikat; The Causes of World War III (1958); The Sociological Imagination (1959) yang menjadi karya penting Mills dalam membahas ilmu sosial itu sendiri; dan Listen, Yankee: Revolution in Cuba (1960). Dia meninggal pada waktu tidur karena serangan jantung pada usia 45 tahun.

Mills menjalin hubungan sangat dekat dengan Hans Gerht yang membawa gagasan-gagasan Eropa klasik, seperti Max Weber dan Karl Marx, ke sosiologi Amerika. Bersama Gerth, menghasilkan dua buku, yaitu yang pertama: From Max Weber: Essays in Sociology (1946) penerjemahan dan pengeditan karya Max Weber. Yang kedua: Character and Social Structure (1953). Mills menggabungkan pendekatan interakionisme simbolik dengan psikoanalisisnya Sigmund Frued. Ilmuan-ilmuan yang mengilhami Mills adalah seperti Veblen, Pareto, John Dewey, dan George H. Mead. Mills menggunakan keyakinan Veblen bahwa Karl Marx salah dalam melihat kelas pekerja untuk menyelamatkan dunia. Pandangan Marx mengenai kesadaran kelas palsu merupakan metafisika buruh yang ketinggalan. Mills percaya bahwa masyarakat masih tetap pasif. Sementara itu kelas penguasa, dengan kekuatan dirinya mampu menggunan kekuasaannya dan mampu membentuk opini. Kelas mengatur mendominasi dari atas kebawah. Oleh karena itu penekanan Marx lebih kepada dasar ketimbang pada superstruktur.

Salah satu hal yang paling mengejutkan tentang Mills adalah pertikaiannya dengan tampaknya selalu bertempur sepanjang hidupnya. Dia mempunyai kehidupan pribadi yang penuh gejolak, yang dicirikan oleh banyak jalinan asmara tiga perkawinan dan seorang anak dari tiap-tiap perkawinan. Dia juga menjalani kehidupan profesional yang penuh pertempuran. Dia tampaknya bertikai dengan siapa saja dan dengan segala hal. Saat masih mahasiswa di Wisconsin, dia kerap berselisih dengan banyak profesornya. Kelak, dalam salah satu eseinya, dia terlibat dalam kritik terselubung terhadap bekas ketua jurusan di Wisconsin. Dia menyebut teoritisi seniornya di Wisconsin, Howard Becker, sebagai “dungu banget” .Dia akhirnya berkonflik dengan Hans Gerth, rekan penulisnya, yang menyebut Mills sebagai “operator hebat”, pemuda congkak yang menjanjikan, dan koboi Texas”. Sebagai seorang profesor di Columbia, Mills terisolasi dan diasingkan oleh kolega-koleganya di Columbia.

Tak ada kerenggangan antara saya dan Mills. Kami mulai renggang. Pada pertemuan mengenang kematiannya yang diselenggarakan oleh Universitas Columbia, saya tampaknya satu-satunya orang yang tak bisa mengatakan, “Aku pernah menjadi jauh”. Mungkin yang benar adalah sebaliknya (dikutip dalam Horowitz, 1983:83).

Mills adalah orang asing, dan dia tahun itu; “Aku adalah orang asing, bukan hanya secara regional, tetapi keseluruhan”. Dalam The Sociology Imagination (1959), Mills menentang bukan hanya teoritisi dominan pada masanya, Talcott Parson, tetapi juga metodologis dominan, Paul Lazarsfeld, yang juga kolega di Columbia.

Mills tentu saja bertentangan dengan orang; dia juga bertikai dengan masyarakat Amerika dan menentangnya dalam berbagai front. Tetapi barangkali yang paling menonjol adalah fakta bahwa ketika Mills mengunjungi Uni Soviet dan dihormati sebagai kritikus masyarakat utama, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang sensor di Uni Soviet dengan bersulang (toast) kepada seorang pemimpin Soviet awal yang dilenyapkan oleh Stalinis : “Untuk hari ketika karya lengkap Leon Trotsky dipublikasikan di Uni Soviet”. C. Wright Mills meninggal di Nyack, New York pada 20 Maret 1962.

Asumsi Pemikiran C. Wright Mills
Kuasa Elit Sosial dan Birokrasi

Dalam penelitiannya pada masyarakat Amerika Serikat, ia menjelaskan struktur masyarakat Amerika dalam Elite Power sebagai komposisi dari orang-orang yang berposisi elit dari mereka dalam suatu lingkungan mereka sendiri. Mereka itu adalah para pemuka agama dan pemuka organisasi yang berasal dari perusahaan besar, Negara serta militer. Ekonomi adalah dominan produktif yang sekarang telah dimiliki oleh dua atau tiga elit perusahaan.maka politik dan ekonomi menjadi kekuatan bagi ekonomi. Kelas politik menjadi inti eksekutif serta pemerintahan dari seluruh relasi publik yang kini di dominasi oleh birokrasi.

Disinilah Mills mengkonsolidasikan antara elit penguasa dan kekuasaan. Suatu gambaran birokrasi dari perusahaan, Negara, dan militer. Elite Power—demikian menurut Mills—tumbuh dan bertambah dalam masyarakat local dengan berbagai stratanya. Ini lebih lengkap dari representasi 400 kota. Maka dalam 400 metropolitan terpilih dalam komposisi ini. Mereka brilian dan merupakan professional muda. Antara 400 kota dan elit nantinya dipengaruhi oleh profesional itu, profesional terkenal adalah produk dari satu sistem. Tetapi ironisnya mereka para selebriti keluar karena permainan selebriti itu sendiri.

Dalam The Power Elite (1956) Mills menunjukan bagaimana kondisi masyarakat Amerika sebagai bangsa besar di dunia didominasi sekelompok elit yang berkuasa yang terdiri dari orang-orang yang menduduki posisi dominan dalam bidang politik, militer, dan ekonomi, mereka adalah pengusaha, penguasa dan petinggi militer. Tiga kelompok elit ini saling bekerjasama, mempertahankan dan menguatkan satu sama lain. Tak heran kalau seorang pejabat tinggi militer bisa menjadi kapitalis dan seorang kepala pemerintah dari sipil bisa menerapkan gaya pemerintahan seperti tentara.

Mills menjelaskan kekuasaan elit dengan bentuk pramida kekuasaan. Bagian paling puncak diduduki elit berkuasa yakni elit yang menguasai tiga sektor: pengusaha, penguasa dan militer. Kemudian lapis kedua adalah pemimpin opini lokal, cabang legislatif pemerintah, dan beragam kelompok berkepentingan. Kemudian lapis ketiga adalah orang tidak memiliki kekuasaan dan orang yang tidak terorganisasi baik secara ekonomi dan politik.

Ada dua faktor yang memunculkan kekuasaan elit: pertama, alat kekuasaan dan kekerasan yang sudah melebur. Kedua, sifat yang saling tergantung antara elit yang dikontrol kaum elit yang diatas. Kesadaran kohesif elit sosial bisa bersatu karena tiga faktor: kesamaan psikologis, kesamaan kepentingan, interaksi sosial.

Dominasi dan mengguritanya kelas elit di Amerika ini menurut Mills merupakan perkembangan ini cukup baru, pada era sebelumnya belum ditemukan. Ini bisa dilihat bagaimana beberapa keputusan penting di negara adi daya seringnya tidak menggambarkan apa yang menjadi kesadaran kolektif masyarakat, lebih mementingkan kepentingan elit sosial, seperti mengalihkan isu nasional menjadi isu internasional.

Salah bentuk dominasi kelas elit itu bagaimana mereka berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan mobilitas vertikal mereka secara ekonomi dan politik, mereka memakai media massa sebagai alatnya. Media massa yang mempunyai posisi dan peran strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional mereka kuasai sebagai alat bagi elit kekuasaan untuk meraih dukungan itu, yaitu melalui menghujani informasi dan berita yang sudah digoreng, proses komunikasi informasi satu arah bukan dialog, menggiring opini.
Kajian Mills tentang kuasa elit sosial itu dilakukan di Amerika dijaman perang dingin. Tentunya sedikit banyak ada perbedaan dengan bangsa kita dan konteks saat ini, meski barangkali tidak sedikit kesamaannya. Tergantung siapa dan kepentingan kita menilainya.

Imajinasi Sosiologis Sebagai Tujuan Pembelajaran Sosiologi
Pada tahun 1959, tokoh sosiologi kenamaan Amerika Serikat C. Wright Mills mengukuhkan suatu pandangan –yang untuk konteks Amerika- baru dan progresif mengenai fungsi sosiologi dalam kehidupan akademis dan publik. Mills menyebutnya dengan istilah Imajinasi Sosiologis. Seperti mengantisipasi pemikiran sosiologi kontemporer mengenai kesatuan agen-struktur sebagaimana disajikan oleh sosiolog seperti Giddens dan Bourdieu, Mills mengungkapkan apa yang dimaksud dengan Imajinasi Sosiologis sebagai berikut:

The sociological imagination enables its possessor to understand the larger historical scene in terms of its meaning for the inner life and external career of a variety of individuals. It enables him to take into account how individuals, in the welter of the daily experience, often become falsely conscious of their social positions. Within that welter, the framework of modern society is sought, and within that framework the psychologies of variety of men and women are formulated. By such means the personal uneasiness of individuals is focused upon explicit troubles and the indifference of publics is transformed into involvement with public issues. (Mills, 1959: 12).

Imajinasi Sosiologis merupakan kemampuan epistemik yang memungkinkan orang memahami khasanah kesejarahan yang luas dalam pengertian makna ‘kehidupan dalam’ dan ekspresi eksternal berbagai kehidupan individu. Imajinasi Sosiologi memungkinkan orang memahami pengalaman individual dalam kaitannya dengan struktur dan relasi masyarakat yang lebih luas. Menurut Mills, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai masalah yang dialami oleh individu, maka individu itu mesti dilihat dalam suatu kerangka situasional periodic dan dalam historisitasnya, serta membangun tautan antara kehidupan privatnya dengan kebijakan sosial dalam masyarakat di mana dia hidup.

Dari sini, Mills kemudian membuat pemisahan antara apa yang disebutnya sebagai ‘the personal troubles of milieu’ dan ‘the public issues of social structure’. (Mills, hlm.13).  Pemisahan ini sedemikian fundamental, karena menurut Mills inilah yang kemudian mendasari secara metodologis makna dari Imajinasi Sosiologis. Tanpa Imajinasi Sosiologis, individu tak akan mungkin memahami diri dan permasalahannya, hingga akibatnya dengan itu ia juga tidak akan pernah sampai untuk tiba pada pemahaman mengenai struktur masyarakatnya. Dari sini Mills kemudian menegaskan Imajinasi Sosiologis sebagai sejenis techne untuk memahami diri-sejarah-masyarakat.

Pertama, ide bahwa individu dapat memahami pengalaman-pengalaman nyatanya hanya dengan menempatkan dirinya dalam suatu konteks. Ide bahwa ia hanya akan mampu memahami kesempatan-kesempatan dalam hidupnya dengan menyadari kehidupan dalam lingkungannya. Dengan itu, kita dapat memahami bahwa setiap individu, dari generasi ke genarasi, hidup dan berelasi dalam masyarakatnya dalam sekuen historis.

Kedua, imajinasi sosiologis adalah kapasitas mental yang memberdayakan hingga memberikan kemampuan untuk memahami sejarah, masyarakat dan biografi diri dan relasi keduanya dalam masyarakat. Inilah kemampuan yang nampak secara jelas melalui karya tokoh-tokoh sosiologi utama mulai dari Auguste Comte, Marx, Weber, Durkheim, Karl Mannheim.  Dengan dua ide besar itu, Mills kemudian menurunkan Imajinasi Sosiologis ke dalam tiga aspek utama yang dirumuskannya dalam tiga pertanyaan penting yakni (Mills: 6-7):

Pertama, apa dan bagaimana struktur masyarakat particular sebagai suatu keseluruhan. Apa saja komponen-komponen esensial dari struktur dan bagaimana mereka saling berelasi satu dengan yang lain? Bagaimana struktur tersebut dapat dibedakan dengan berbagai variasi tatanan sosial yang ada. Bagaimana struktur itu lestari dan bagaimana ia berubah?

Kedua, di mana tempat masyarakat yang eksis itu dalam perjalanan temporalitasnya atau dalam sejarah yang ada. Apa faktor-faktor penggerak perubahannya? Bagaimana ia ditempatkan dan bagaimana ia dimaknasi dalam kerangka pembangunan kemanusiaan secara umum? Apa karakter yang muncul dalam cara-cara bagaimana sejarah dan masyarakat berubah?

Ketiga, apa dan bagaimana ragam variasi manusia yang muncul dalam masyarakat dan suatu periode historis? Apa benih-benih keaktoran/agen yang potesial muncul di masa depan? Bagimana mereka diseleksi, dibentuk, dimaknai, dibebasnkan dan disajikan dalam sejarah dan struktur masyarakat. Apa dan bagaimana ciri ‘human nature’ yang berhasil kita pahami dari struktur dan kekinian.
Dengan kemampuan mengajukan dan menjawab tiga pertanyaan dasar dalam Imajinasi Sosiologis ditu, individu diharapkan memiliki kemampuan untuk:

Pertama, mampu membedakan troubles (persoalan-persoalan) dengan issues (masalah-masalah). Persoalan (trouble) adalah hal atau perkara dalam karakter individual dalam tautan langsungnya dengan individu lainnya yang bersifat personal (interaksi). Persoalan adalah soal privat. Sementara masalah (issue) merupakan hal atau perkara yang berkaitan dengan relasi antara kehidupan individu dengan lingkungannya (relasi).  Masalah adalah hal publik.

Kedua, kemampuan melampaui hal-hal yang bersifat privat dan personal dan hingga mampu mencipatkan pemahaman akan dunia publik yag baru dan lebh baik.

Untuk memahami perbedaan keduanya (persoalan dengan masalah), Mills mengajukan beberapa ilustrasi. Misalnya perang. Perang sebagai persoalan individual/privat misalnya adalah mengenai bagaimana seseorang bertahan, hidup atau mati secara terhormat.  Bagaimana mencapai pangkat yang lebih tinggi dalam dunia militer saat perang. Perang sebagai masalah (public), berkaitan dengan apa sebab-sebab perang, tipe-tipe aktor bagaimana yang terlibat dalam berbagai keputusan perang, apa efeknya terhadap keadilan, keluarga, perempuan dan anak, kebijakan ekonomi dan politik. Contoh lain adalah soal perkawinan. Keputusan dan peristiwa perkawinan adalah pengalaman individual. Akan tetapi apabila diketahui bahwa dari 1000 pasangan terdapat 250 pasangan yang bercerai di usia empat tahun pernikahan mereka, maka ini masalah publik bukan lagi soal privat.

Konflik Stuktural: C. Wright Mills

Dalam buku the Sociological Imagination (1959), C. Wright Mills menentang teoritis dominan pada masa itu Talcot Parson. Dan juga kebetulan kolegannya di Colombia. Ia juga berseturu dengan masyarakat Amerika dan menentang dengan berbagai cara menggunakan kesempatan itu untuk menyerang sensor yang diberlakukan Uni Soviet dengan cara bersulang untuk pemimpin awal Soviet yang disingkirkan dan dibunuh oleh Stalin. Fungsional struktural mulai diserang dan serangan memuncak pada tahun1960an dan 1970an. Diantaranya oleh C. Wright Mills terhadap Parson pada tahun 1959, dan oleh David Lockwood (1956), Alvin Gouldner (1959-67-70), dan Irving Horowitz (1962-67). Serangan-serangan ini disebut griliya dan ketika tahun 1960-an dominasi fungsionalisme struktural menjadi goyah. Kemudian fungsionalsime struktural dengan posisi masyarakat Amerika dalam tatanan dunia. Fungsionalisme struktural posisi dominan Amerika di dunia dengan dua cara:
Pertama, pandangan struktural fungsional bahwa setiap pola mengandung konsekuensi yang memberikan kontribusi pada bertahan dan tetap hidupnya sistem yang lebih luas. Kedua, prenekanan struktural fungsional terhadap ekuilibrium (perubahan sosial terbaik adalah tidak ada perubahan) sangat cocok bagi Amerika adalah imprium terkaya dan terkuat di dunia.

C. Wright Mills sendiri berupaya menjaga tradisi Marxian agar tetap hidup dalam teori sosiologi, para sosiolog Marxian modern telah menelanjangi kecanggihan teoritis Mills. Mills bukan seorang Maxis dan ia juga menerbitkan karyanya dan karyanya tidak dipengaruhi oleh teori Marxian. Radikalisme Mills menepatkannya pada pinggiran dalam peraturan sosiologi Amerika. Ia menjadi kritikus utama sosiologi. Pada bukunya The Sosiological and Social Structure adalah puncak sikap kritis Mills. C. Wright Mills juga menerbitkan dua karyanya yang mereflesikan politik radikal sekaligus kelemahan dalam kelemahan teori Marxian, yaitu: White Colar, kelompok teori elit yang cendrung melihat masyarakat terbagi secara tajam antara kelompok yang berkuasa dan yang tidak berkuasa. Dia juga sependapat dengan Marxis dan Neo-Marxis dalam hal pandangan mereka tentang alienasi, efek dari struktur sosial terhadap kepribadian dan manipulasi manusia oleh media. Tetapi berbeda dengan mereka yang lain, Mills tidak melihat hak milik pribadi sebagai satu-satunya sumber kejahatan di dalam masyarakat. Menurut Mills, kepemilikan alat-alat produksi dalam skala kecil dan kenyataan akan adanya sekelompok pengusaha kecil yang mandiri berguna untuk mempertahankan kebebasan dan keamanan.


Kelas Menengah Amerika: Karyawan Berkerah Putih
Mills mengakui bahwa kelas menengah berkembang sebagai penunjang yang tidak di harapkan antara produsen dan kelas pekerja upahan. Karl Marx, ahli teori klasik yang menulis tentang kesengsaraan buruh-buruh di abad ke Sembilan belas, gagal melihat perkembangan kelas menengah yang sangat luas di masyarakat industry.

Pengembangan tesis tentang karyawan berkerah putih itu dibangun Mills di atas teori alienasi Marx. Marx menegaskan bahwa kerja telah memisahkan manusia dan dunia binatang. Manusia mengungapkan kemanusiaannya lewat tenaga kerja, yang mungkin sebagai tukang kebun, pandai besi, dokter atau pemilik toko. Industry modern yang dipacu oleh system kapitalis, membuat kemanusiaan semakin sulit diungkapkan lewat kerja.

Isu keterasingan dari paham Marxis inilah yang berfungsi sebagai dasar pembahasan Mills tentang kelas menengah Amerika. Mills mengungkapkan hal tersebut lewat cara berikut ini:
Dalam kasus karyawan berkerah putih, keterasingan pekerja-upahan dari hasil kerjanya dibawa selangkah lebih dekat kea rah penyelesaian “kafka-like”. Karyawan yang digaji itu tidak membuat apa-apa, walaupun dia mampu menangani sejumlah hal yang diinginkan tetapi itu tidak pernah bisa. Tak ada hasi seni ukir dapat menajdi miliknya dengan maksud sebagai kesenangan ketika barang itu sedang atau setelah diciptakan. Karena terasing dari setiap hasil pekerjaannya, dan selama bertahun-tahun menghabiskan waktu dengan pekerjaan rutin, akibatnya mereka menggunakan waktu luang pada hiruk pikuk hiburan palsu yang ada, dan berperan serta dalam kegembiraan semu yang tidak memberikan ketentraman dan rasa bebas. Mereka bosan bekerja, dan muak berkreasi, dan selingan yang mengerikan ini sangat menjemukan.

Risalah Mills tentang karyawan berkerah putih telah dikritik sebab dianggap sebagai kutukan tak berampun atau kemungkinan pencarian jalan tembus bagi kels menengah ini.  Mungkin Mills terlalu menekankan kasusnya pada masalah karyawan kantor di jenjang yang lebih rendah yang telah menukar kerah biru dengan kerah putih; yang pindah dari pengecoran ke kantor sedang yang diperoleh hanya keuntungan khayal. Mungkin juga Millls juga merindukan zaman yang silam, memilih dan memusatkan perhatian pada aspek yang paling positif saja. Walau demikian Mills memusatkan perhatian pada unsur kehidupan kelas menengah, yaitu tidak adanya kekuatan yang cukup berarti, Mills menekankan bahwa karyawan kelas menengah, bahkan yang professional, biasanya tidak memiliki kekuatan pribadi untuk mengendalikan hidupnya sendiri dan kekuatan politik untuk membentuk bangsa.

2.3 Karya dan Sumbangan C. Wright Mills terhadap Sosiologi
Selama hidupnya C. Wright Mills telah banyak mengeluarkan karya-karya terbaiknya diantaranya sebagai berikut:
1. From Max Weber: Essay in Sociology (1946);
2. White Colar: The American Middle Classes (1951);
3. A look at the White Colar. Office management Association. Reprinted: I.L. Horowitz, Power, Politics, and People: The Collected Essay of C. wright Mills (1952);
4. The Power of Elite (1959);
5. The Sociological Imagination (1959).

Dalam buku The Power of Elite and White Colar, Mills menggabungkan minatnya akan teori klasik dengan keprihatinan yang membara tentang isu-isu sosial. Data untuk hal tersebut dikumpulkan dari catatan-catatan biografis dan historis, termasuk catatan dari surat-surat kabar, biografi-biografi dan catatan jurnal.dengan demikian catatan Mills tidak hanya relevan tetapi mencoba menggabungkan data dan teori di dalam studi isu-isu sosial.

Salah satu diantara banyak karya Mills ialah The Power of Elite, yang mengetengahkan tesis saling hubungan kekuatan tritunggal: bisinis raksasa, pemerintahan yang kuat dan militer yang tangguh. Tritunggal tersebut di dalam masyarakat Amerika hanya dimiliki oleh beberapa orang saja, demikian Mills mengambil keputusan-keputusan dengan pengaruh nasional dan internasional. Dengan demikian, setiap harapan untuk mewujudkan pemerintahan yang bertanggung jawab, hanya dapat digapai lewat pertumbuhan kesadaran masyarakat akan situasi kekuasaan (di Amerika Serikat) dan ditambah dengan minat sosiologis terhadap isu-isu yang relevan.

Dalam bukunya yang lain The Sociological Imagination Mills menghimbau terhadap imajinasi sosiologis, yaitu kritik terhadap model naturalis yang sudah dominan dalam sosiologi kontemporer. Dia mendakwa empirisme abstrak sosiologi Amerika lebih banyak terlena dengan metose-metode praktis ketimbang dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan. Bagi Mills ‘imajinasi sosiologis’ adalah kemampuan untuk menangkap sejarah dna biografi serta daya gunanya dalam masyarakat. Imajinasi inilah yang dicoba Mills dalam karyanya. Teori tidak boleh abstrak, seperti teori induk (grand theory) dengan sedikit atau tanpa data yang mendukungnya (sebagaimana yang dituduhkan Mills terhadap Parsons), tidak pula merupakan empirisme abstrak dengan data tetapi dnegan sedikit atau tidak ada teori yang relevan.


You May Also Like

0 komentar