HISTORY OF PERIODIC INDA TADWIN HADITS

by - 20.56


setiapaelani66blogspot.com- Periodisasi Hadist Inda Tadwin

perkembangan hadits masa inda tadwin
Perkembangan Hadits Masa Inda Tadwin blogspot.com




Diajukan Untuk Memenuhi Salah Tugas Kelompok Mata Kuliah
‘Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Endang Soetari, Ad., M.Si.
Disusun Oleh:
    Kelompok 2, (Sosiologi D):
1. Muhammad Ihsan A. (1168030133)
2. Muhamad Refasatya R. (1168030136)
3. Nabilla Oktavia W. (1168030142)
4. Nani Siti Saadah (1168030145)
5. Neng Yola Laura E. (1168030148)
6. Nizar Aulia (1168030151)
7. Nur Ardiani Cita S. (1168030154)
8. Nurseha Alpiah (1168030157)
9. Paelani Setia (1168030160)
10. Pipit Pertiwi (1168030163)
11. Rahmat Maulana (1168030166)
12. Reska Nurmalasari (1168030167)
13. Rifan Fathurrohman S. (1168030170)
14. Rini Nur Apriyani (1168030173)

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016

PERKEMBANGAN HADITS INDA TADWIN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Tugas Kelompok Mata Kuliah ‘Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Endang Soetari, Ad., M.Si.
Disusun Oleh:
    Kelompok 2, (Sosiologi D):
1. Muhammad Ihsan A. (1168030133)
2. Muhamad Refasatya R. (1168030136)
3. Nabilla Oktavia W. (1168030142)
4. Nani Siti Saadah (1168030145)
5. Neng Yola Laura E. (1168030148)
6. Nizar Aulia (1168030151)
7. Nur Ardiani Cita S. (1168030154)
8. Nurseha Alpiah (1168030157)
9. Paelani Setia (1168030160)
10. Pipit Pertiwi (1168030163)
11. Rahmat Maulana (1168030166)
12. Reska Nurmalasari (1168030167)
13. Rifan Fathurrohman S. (1168030170)
14. Rini Nur Apriyani (1168030173)

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT., berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “Perkembangan Hadits Masa Inda Tadwin”. Alhamdulillaah kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah  ini dengan baik meskipun kami juga menyadari masih ada kekurangan di dalamnya.
Kami juga tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Endang Soetari, Ad., M.Si., selaku dosen mata kuliah Ulumul Hadits yang telah memberikan tugas ini kepada kami dan membantu kami sebagai penulis dalam menyelesaikan makalah  ini. Dan tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak tang telah membantu menyelesaikan makalah  ini dan bekerja sama menyelesaikan makalah  ini.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas kelompok, menambah wawasan bagi para pembaca, memberikan gambaran tentang sejrah perkembangan hadits khususnya masa kodifikasi hadits secara rinci dan mudah dipahami. Kemudian, kami berharap para pembaca bisa mengambil pelajaran dan mempraktikkannya dari makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat dan bisa menjadi bahan evaluasi dan tolak ukur dalam makalah-makalah lainnya khususnya bagi mata kuliah Ulumul Hadits di masa yang akan datang. Mohon kritik dan sarannya. Terima kasih.

           Penulis,


         Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.1 Tujuan 3
1.3  Metode Penulisan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Periodisasi Hadits Masa Inda Tadwin 4
A. Dorongan Bagi Usaha Pentadwinan Hadits 4
B. Tujuan dan Faedah Pentadwinan Hadits 6
    2.2 Fase Pentadwinan 8
A. Fase Tadwin dengan Kualifikasi 9
B. Fase Tadwin dengan Seleksi 10
C. Kitab-kitab Pada Masa Inda Tadwin 10
BAB III PENUTUP 17
3.1 Simpulan 17
3.2 Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 19







BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits Nabi Muhammad SAW adalah dasar dan pokok ajaran agama Islam kedua setelah Al-Qur’an, Firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surah Al Imran ayat 132:  “Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat”. Hadits merupakan sumber panduan hidup kedua bagi umat islam, sebab bersamaan dengan kewajiban mentaati Allah SWT, umat Islam dituntut untuk selalu mengikuti dan mentaati Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari. Hadits berbeda dengan Al-Qur’an yang diyakini kebenarannya dan diakui qath’i wurudnya, dan jika pada awalnya Al-Qur’an sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh pencatat wahyu atau petunjuk dari Nabi serta, tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisnya, maka berbeda dengan hadits. Jika Al-Qur’an secara normatif telah ada generasi dari Allah, dan tidak ada keraguan keasliannya, maka tidak demikian dengan hadits. Maka, hadits dalam perkembangannya tidaklah semulus Al-Qur’an, berbagai keraguan bahkan penolakan muncul seiring perkembangan hadits tersebut.
Kendati demikian, keberadaan hal hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan Al-Qur’an yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah SAW., maupun para shahabat yang berkaitan dengan penulisannya. Selanjutnya, kodifikasi hadits secara resmi baru dilakukan satu abad setelah Rasulullah, tepatnya pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis, bukan berarti penulisan Al-Hadits belum ada sebelumnya. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa karya tulisan para shahabat dan tabi’in yang sudah ada sebelumnya, ini menunjukkan bahwa keaslian hadits dapat dipertanggungjawabkan dan tidak mungkin hadits dapat sampai kepada tabi’ut tabi’in tanpa melalui proses yang terjadi sebelumnya.
Waktu yang relatif jauh antara masa nabi dengan tadwin al-Hadits secara resmi timbullah beberapa problematika hadits, baik dari sisi keasliannya, periwayatannya, sampai pada pemilihan dan penganalisisan hadits di kalangan ahli hadits. Akan tetapi, umat Islam berusaha membela hadits dan melalui perjuangan para muhaddisin dengan proses riwayah dan kaidah dirayah berhasil memelihara hadits dan mengantarkannya ke generasi-generasi untuk diestafetkan bagi amaliah syariat sepanjang zaman. Kendati demikian, problematika di atas mengisyaratkan bahwa umat Islam harus berhati-hati dalam menerima hadits dan menggunakan metode yang tepat dalam memilah dan memilih hadits bagi pengamalnya (Ash-Shiddieqy dalam Prof. Endang Soetari: 2: 2016)
Hadis pada masa Rasulullah saw. dan khulafa’ Al-Rasyidin belum dibukukan secara resmi (tadwin). Hal itu erat kaitannya dengan larangan penulisan selain al-Qur’an oleh Rasulullah saw. meskipun terdapat juga hadis yang membolehkan penulisannya.
Hadits yang melarang penulisan misalnya adalah:
Dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah Saw. bersabda “Jangan menulis dariku, barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah dia menghapusnya. Riwayatkanlah apa yang datang dariku tanpa ada dosa, dan barang siapa yang berdusta atas diriku secara sadar,maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di neraka.
Sedangkan hadis yang membolehkan penulisan hadis adalah:
 “Dari Abdullah ibn ‘Amr berkata: Saya menulis setiap sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. untuk dihafal, lalu orang-orang Quraisy melarangku seraya berkata: Apakah engkau menulis semua apa yang diucapkan Rasulullah pada waktu marah dan ridha? Lalu saya diam hingga aku laporkan ke Rasulullah saw. dan berkata “Tulislah! Demi zat yang aku dalam genggamannya, tak satupun yang keluar dariku kecuali kebenaran.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang kami simpulkan dalam proses pembuatan makalah ini adalah:
1) Bagaimana Periodisasi Hadits Inda Tadwin?;
2) Bagaimana Fase Pentadwinan Hadits dalam Inda Tadwin?; dan
3) Apa saja Kitab-kitab hasil Pengkodifikasian Hadits masa Inda Tadwin?.
1.1 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yang kami simpulkan adalah:
1) Memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah Ulumul Hadits;
2) Mengetahui Periodisasi Perkembangan Hadits Inda Tadwin;
3) Mengetahui fase pentadwinan Hadits masa Inda Tadwin; dan
4) Mengetahui kitab-kitab hasil pengkodifikasian Hadits masa Inda Tadwin.
1.3   Metode Penulisan
Data-data yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku umum Ilmu Hadits, dan artikel ilmiah yang bersumber dari media lainnya seperti majalah dan internet. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian. Kemudian dilakukan penyusunan karya tulis berdasarkan data yang telah dipersiapkan secara logis dan sistematis. Teknik analisis data bersifat deskriptif argumentatif.
Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah, tujuan penulisan, serta pembahasan. Simpulan yang ditarik mempresentasikan pokok bahasan makalah, serta didukung dengan saran praktis sebagai rekomendasi selanjutnya.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Periodisasi Hadits Masa Inda Tadwin
Periode “ASARH AL-Kitabah Al-Tadwin” yakni masa pembukuan dan penulisan hadits secara resmi atas inisiatif pemerintah secara umum , sebb kalau secara perorangan dilakukan sebelum abad kedua Hijriyah.Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad kedua hijriyah yakni paa masa pemerintahan khalifah Umr ibn Abd al-Azis tahun 101 H.
Usaha ini dimulai ketika pemerintahan   Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifah ke depalan dari Bani Umayah) melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghapalnya. Ia mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibnu Amar Hazm (Gubernur Madinah).
A. Dorongan Bagi Usaha Pentadwinan Hadits
Hal-hal yang mendorong timbulnya usaha pentadwinan hadits secara resmi adalah sebagai berikut:
a) Pada akhir abad I H, para penghafal hadits semkin berkurang karena berguguran dalam berbagai peperangan.
b) Periwayatan secara lisan dengan berpegang pada hafalan dan ingatan keseragaman lafazh dan makna tidak bisa berlangsung sangat lama sebabnya ialah:
1) Faktor intern: Kondisi kaum muslimin sendiri dalam menghfal riwayat  dan memelihara hafalan tersebut makin lama berkurang, dikarenakan antara lain:
a. Semangat penghafal berkurang karena pengaruh ingkar iman yang yang berada pada dada kaum muslimin melemah
b. Perubahan watak, Pengarug percampuran ras dan berubahnya keadaaan masyrakat dan kehidupan.
2) Faktor ekstern: Pengaruh yang datang dari luar ,antara lain :
a. Makin banyaknya problema hidup dari masa ke masa dalam berbagai sektor kehidupan: sosial, ekonomi dan politik.
b. Tidak henti-hentinya terdapat serangan dari kaum yang sengaja merusak hadits dengan jalan mengaburkan hadits hdits yang sebenarnya.
a. Terbunuhnya Khalifah Utsman dalam persengketaan kahalifahan antara Ali dan Muawiyah , menimbulkan terpecahnya kaum muslimin  ,umat muslim terpecah pada golongan Khawarij, Syiah ,Murji,ah, dan ahl-al Sunnah maka pada akhir abad ke 1 H, pemalsuan hadits semakin memuncak , hadits-hadits palsu yang bermotif zhandaqh dan ashabiyah semkin banyak beredar di kalangan umat, sehingga menimbulkan kekaburan bagi orang awam. Karena itu untuk memisahkan hdits yng benar dan plsu siadakan pencatatan hadits-hadits yang benar-benar datang dari Nabi Muhamad SAW.
b. Pada masa tabi’in tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadits , sehingga tidak menimbulkan kesamaan tentang Al-Qur’an sebagai dasar tasyri yang pertama telah dibukukan, maka hadits yng berfungsi sebagai interpretasi Al-Qur’an secara otomatis harus dibukukan pula.
c. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju karena semakin luasnya skope pengenalan umat dan pertemuan peradaban antara orang Islam dengan anak-anak negeri yang kemudian menjadi wilayah Islam, begitu pula pengaruh literatur yang datang dari luar, maka merangsang dan mendorong kearah pentadwinan/pembukuan hadits, sebab hadits adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan.
d. Pada umat Islam sudah tersedia potensi atau sarana penulisan, pengumpulan dan pembukuan hadits yakni kepandaian tulis baca yang semakin meluas diantara kalangan bangsa arab, dan semakin bersemangat memelihara dan membina sunnah nabi, baik dalam mencari, memahami, menghafal, mengamalkan, dan menyebarkan. Dengan demikian untuk aktifitas pentadwinan hadits, umat Islam siap lahir batinnya.

B. Tujuan dan Faedah Pentadwinan Hadits
a) Segi Kepentingan Umat
Tujuan tadwin hadits dari segi kpentingan agama berpangkal pada masalah pemeliharaan syariat. Tegasnya tadwin hadits diselenggarakan untuk tujuan pemeliharaan syariat Islam hal ini sebagaimana telah di nashkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran:
“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Dzikir (Al-Quran)  dan sesungguhnya Kamu (pulalah) yang memelihara “( Q.S. Al-Hjir : 9).
b) Dari Segi Kebutuhan Umat
Tujuan dan Faedah tadwin hadits berhubungan dengan pengamalan syariat Islam. Yakni:
1. Untuk pelaksanaan agama, maka umat Islam memerlukan sekali pedoman praktis yang secara mudah dan efisien dapat diperoleh sewaktu-waktu dan kapan saja memerlukannya. Berguru dan menghafal hadits dimasa mutakhir ini sudah sangat sulit. Hal ini jelas disebabkan oleh faktor-faktor yang telah disebutkan diatas. Maka adalah efisien apabila disediakan cacatan dan kumpulan hadits Nabi Muhamad SAW tersebut dan ditentukan cara-cara pemakaiannya.
2. Untuk Istinbats hukum bagi persoalaan-persoalan kehidupan yang dijumpai dalam masyarakat, dan bertahkim/berdalil untuk pemantapan amal keagamaan terasa perlu ada tersedianya diwan-diwan dasar tasyri sebagai pegangan tempat kembali.
3. Untuk menghindari kekaburan dikalangan umat Islam tentang hadits, karena hadits telah tercampur oleh hadits palsu, maka dengan adanya tadwin yang khusus menghimpun hadits betul-betul hadits dan membuang yang palsu, dapat menghilangkan keraguan kaum muslimin dalam mengamalkan sunah Nabinya.

Sadar akan pentingnya tadwin bagi pemeliharan hadits sebagaimana dasar tasyri dan didorong oleh kebutuhan umat Islam dan efisiensi hadits sebagai dalil agama Islam istinbath dan berhujah untuk pengamalan agamanya dan insyaf akan bahaya lenyapnya hadits maka bergeraklah para ulama melaksanakan pentadwinan hadits hadits tersebut.
Untuk merealisasikan niatnya itu pertama-tama beliau meminta kepada gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhamad bin Hamzah supaya membukukan hadits Nabi Muhamad SAW yang terdapat pada Amarah binti Abdul Rahman ibnu Ros’ad ibnu Jurarah ibnu Ades, yaitu seorang wanita ahli fiqih murid Aisyah R. A. yang terkenal sebagai penghafal hadits
Isi surat tersebut ;
“Lihatlah dan perikasalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasul Saw , lalu tulislah karena aku takut lenyap Ilmu karena meninggalnya ulama dan jangan anda terima kecuali hadits Rasul SAW dan sabarkanlah ilmu (hadits) dan adakan majelis majelis ilmu supaya orang yang tidak megetahuinya,lantaran lenyap ilmu hingga dijadikannya  barang rahasia”. (Riwayat Ad-Damiri).
Surat perintah diatas dapat di simpulkan:
1. Perintah meneliti dan membukukan hadits Rasul Saw. dengan ketentuan jangan diterima selain hadits Rasul.
2. Perintah menyebarluaskan hadits-hadits tersebut dengan jalan mengadakan majelis-majelis ilmu, supaya tidak lenyap karena menjadi rahasia.
Bergeraklah para ulama diseluruh negeri menyambut intruksi khalifah tersebut untuk mencari hadits, meneliti, menghimpun, dan menyusun lalu membukukannya. Pelopor mudawin adalah Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaydillah Ibn Syihab Al-Juhri, seorang tabi’in yang ahli dalam bidang fiqih dan hadits.
Pelopor-pelopor lain nya adalah : Ibn Juraiz di Makkah, Ibn Ishaq, Ibn Abi Jibbin dan Malik Ibn Annas di Madinah, Arabi Ibn Sahib, Hammat ibn Salamah, Sait Ibn Audjai di Syam, Khusaim Al-wasith, Ma’mar Al-azbi di Yaman , Jarir Al-Dabby Dir’i, ibn Mubarak di Khurasan, Al- Yaist di Mesir
Aktivitas pentadwinan hadits berlangsung selama abad ke-II dan ke-III Hijriyah, yakni aktifitas sampai terkumpulnya seluruh hadits dalam diwan-diwan hadits. Perkembangan hadits pada abad II hijriyah merupakan masa periode  ke-4, yakni Ashr al-kitabi wa al-tadwin, sedang abad ke-III termasuk period ke-5 yang disebut Ashr al-Tajrid al-Tahshhih yaitu masa penyaringan, pemilahan dan perlengkapan hadits.
Aktifitas tadwin selama abad II dan III H. sebagai aktifitas tadwin resmi dan intensif, biasa dikatakan sebagai aktifitas tadwin “inda Al-tadwin” .pembahasan mengenai aktifitas tadwin “indaAl-tadwin”, ditinjau dari corak penyusunannya dan sistem yang digunakan, maka sepanjang yang telah ditempuh para ulama muhaddisin aktifitas tadwin tersebut dibagi pada 3 fase perkembangan, yakni (1) fase tadwin masa pertama, (2) fase tadwin kualifikasi, dan (3) fase tadwin dengan seleksi.
2.2 Fase Pentadwinan
Pada fase ini para muddawin mengadakan tadwin dengan memasukan ke dalam diwannya semua hadits, baik sabda nabi Muhammad SAW maupun fatwa sahabat dan tabi’in, jadi meliputi hadist marfu, maukuf, dan maqthu. Corak tadwin ini berlangsung selama abad II H, kitab-kitab yang disusun pada masa ini tidak sampai pada masa kita sekarang kecuali kitab Al-Muwathu, susunan Malik Ibn Annas.
Kitab ini merupakan kitab terbesar pada masa ini yang disusun dengan sistem tasynif, yakni dengan meletakkan hadits yang ada hubungannya dengan yang lain dalam satu bab, kemudian dikumpulkan bab itu ke dalam mushanab. Al-Muwatha berisi 1726 hadits yang terdiri dari 600 musannad, 220 Mursal, 613 Mauquf dan 285 Maqthu. Kitab ini mendapat perhatian yang besar, baik dari kalangan ulama maupun pemerintah. Perhatian para ulama terbukti dari usaha memperluas kitab tersebut dengan mengusahakan syarahnya serta muhsyaharahnya.
Diantara Syarahnya adalah kitab al-Tahnid dan al-Istidzkar oleh Ibn Abd Albar (436 H), Kasyf Al-Mughatha ‘fi Syarh al-Murwaththu’ oleh al-Syuyuti (911 H); al-Musawwa oleh Quthb al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Barr dan Mukhtashar al-Baji. Al-Muwatha’ mempunyai banyak naskahnya, al-Suyuthi menerangkan bahwa yang terkenal ada 14, tiga diantaranya adalah naskah yahya bin Yahya al-Laits al-Andalusi, naskah ibn Mus’ad Ahmad ibn Abi Bakar al-Qasimy, dan naskah ibn Hasan al-Syaibani.
A. Fase Tadwin dengan Kualifikasi
Pada awal abad III H, para ulama melaksanakan tadwin hadits dengan memisahkan antara sabda Nabi Muhamad SAW., dengan fatwa sahabat dan tabi’in (kualifikasi). Tapi masih mencampur saja antara hadits-hadits shahih, hasan, dan dhaif, sehingga lantaran ini orang-orang yang kurang ahli masih dapat secara mudah mengambil pengertian hukum atau mengetahui nilai hadits tersebut.
Sistem penyusunan yang dipakai adalah tasnid, yakni menyusun hadits dalam kitab-kitab berdasarkan nama perawi. Sedangkan, di dalam menerbitkan nama shahabat ada yang menerbitkan menurut tartib kabilah, ada yang menurut masa memeluk agama Islam, dan ada pula yang tidak memperhatikan tertiban ini. Sistem tasnid dan musnad ini kelemahannya adalah sulit dalam mencari atau mengetahui hukum-hukum syara sebab hadits yang dikumpul dalam satu tempat. Tidak semawudhu, satu tema.
Kitab hadits yang disusun dengan sistem secara ini dinamakan mushanad. Musnad-musnad yang disusun pada masa ini banyak sekali antara lain; Musnad ‘Ubaidillah ibn Musa (123 H.), Musnad Hanafi (150 H.), Musnad al-Syafi’i (204 H.), Musnad Abu Dhawud al-Tayalisi (201 H.), Musnad al-Abasi, Musnad Abu Ya’la al-Maushuli, Musnad al-Mawrzi, Musnad ‘Utsman ibn Abi Syaibah, Musnad Nu’aim ibn Hammad, Musnad ‘Ali al-Maididi, musnad al-Bazzar, musnad Baqi ibn Makhlad, Musnad ibn Rahawaih, Musnad Abu Bakar, Musnad al-Baghawi, musnad al-Masaekhasi, dan Musnad Sa’id ibn Mansur. Di antara kitab-kitab musnad tersebut yang paling menonjol adalah musnad Ahmad. Musnad ini berisi 40.000 Hadits dengan berulang-ulang atau 30.000 Hadits dengan tidak berulang-ulang.
Sedemikian besar hadits yang dihimpun, didalamnya sehingga musnad itu sudah melengkapi dan menghimpun kitab-kitab hadits yang lainnya dan kitab ini dapat memenuhi segala yang diperlukan oleh muslim dari urusan agama dan dunianya. Begitu pula ada yang menerbitkan musnad Ahmad itu menurut bab fiqih, seperti yang dilakukan oleh Ahmad ibn Abd-Arrahman ibn Muhamad al-Bana dalam kitab yang diberi nama Fath al-Rabbani yang kemudian disarahkan dalam kitab bulugh al-Amani.

B. Fase Tadwin dengan Seleksi
Pentadwinan hadits corak ini berlangsung mengikuti corak kualifikasi antara hadits marfu dengan hadits mauquf dan maqthu. Dalam sejarah perkembangan hadits, terkenal dengan sebutan kualifikasi dan seleksi Ashr-atajrib wa’al tashaiha wa’al tanqih (masa penyaringan, pemilihan dan perlengkapan). Seleksi hadits dilakukan terhadap nilai hadits yakni memilih hadits yang shahih saja untuk di bukukan. Hal yang mendorong usaha tadwin dengan seleksi ini adalah karena meluasnya pemalsuan hadits di akhir abad II H dan abad awal III H.
Seleksi yang tertinggi yang dipergunakan olah muddawin kitab shahih yakni yang dilakukan oleh Bukhori dan Muslim melalui syarat-syarat. (1) sanad yang muthasil, (2) perawi yang muslim, bersifat benar, tidak suka berdusta (tadlis), tidak berubah akal, adil, kuat hafalan, tidak ragu-ragu, dan beritikad baik.

C. Kitab-kitab Pada Masa Inda Tadwin
1) Ta’wilu Muhatalifil Hadits
Kitab ini adalah suatu kitab yang besar manfaatnya. Di disusun oleh Ibnu Qutaibah untuk membela hadits dan ahlinya, mempertahankan kebenaran dan memusnahkan kebatilan. Di dalam kitab ini Ibnu Qutaibah membantah pendapat orang-orang yang memusuhi ahli hadits dan mempertemukan hadits yang dipandang menerangkan atau yang dilihat muskhil.
Penting benar kita mempelajari uraian Ibnu Qutaibah, karena sebagian dari kritik-kritik dan tuduhan-tuduhan yang dihadapkan oleh orientalis di masa sekarang adalah kritik-kritik yang telah dijawab oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya itu. Juga di dalam kitab tersebut Ibnu Qutaibah menerangkan cara-cara mempertemukan hadits-hadits yang dikatakan berlawanan oleh Ahli Kalam.
2) Musnad Ahmad
Musnad adalah suatu kitab yang melengkapi dan menghimpun kitab-kitab hadits yang selainnya dan suatu kitab yang dapat memenuhi segala yang diperlukan oleh seorang muslim dalam dalam urusan agamanya dan dunianya. Musnad Ahmad melengkapi 40.000 hadits dengan berulang ulang, 30.000 dengan tidak tidak berulang-ulang. Namun demikian masih ada juga hadits yang tidak ditampung oleh musnad itu.
Musnad yang ada di hadapan kita sekarang bukanlah semua dari riwayat Ahmad sendiri tetapi sebagian isinya adalah tambahan-tambahan dari luar yang ditambahkan oleh putra Ahmad yang bernama Abdullah dan yang ditambahkan oleh Abu Bakar Al-Qot’i.
a) Derajat Hadits Ahmad
Para ulama mempunyai tiga pendapat dalam menilai hadits-hadits Ahmad. Pertama, segala hadits yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan hujjah. Hal ini berdasar pada perkataan Ahmad sendiri diwaktu ditanyakan kepadanya tentang nilai suatu hadits, yaitu: “Lihatlah, apakah hadits ini jadi ada di dalam Al-Musnad. Jika tidak ada di dalam Al-Musnad, maka hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah”.
Kedua, di dalam Al-Musnad ada hadits yang shahih dan ada yang dhaif, bahkan ada yang maudlu. Ibnu Zauji menerangkan di dalam kitab Al-Musnad ada 29 hadits maudlu, kemudian AL-‘Iroqi menambah 9 buah lagi.
Ketiga, Ibnu Hajar telah menyusun sebuah kitab untuk membela dan mempertahankan nilai hadits Al-Musnad yang kesimpulannya menandaskan bahwa didalam Al-Musnad, tidak ada hadits maudlu.
b) Perhatian Ulama Terhadap Musnad Ahmad
Banyak ulama yang memberikan perhatian kepada kitab Al-Musnad. Ada yang mengumpulkan lafaz –lafaz yang ghorib yang terdapat dalam Al-Musnad dan memaknakannya.
Pada masa akhir-akhir ini musnad Ahmad telah ditertibkan menurut bab fikih oleh Ahmad Ibnu Abdurrahman Ibnu Muhammad Albana yang terkenal dengan As-sa’áti, yang selesai dikerjakan pada tahun 1350 H, pada tahun 1351 H, dan dijadikan tujuh bagian. Kitab itu dinamakan Alfatur Rabbani. Kemudian kitabnya itu di syarahkan dalam suatu kitab yang lain yang dinamakan dengan bulughul amani.
3) Kitab Shahih Bukhori
a)  Penggerak kepada Penyusunnya
Imam Albukhori mengumpulkan sekumpulan hadits yang shahih sanadnya dan sejahtera matannya daripada ilat. Disusun dan ditertibkan menurut bab-bab fikih dan tafsir keinginannya itu dikuatkan lagi oleh perkataan gurunya Ishak Ibnu Rohawaih yang mengatakan kepada muridnya: “Alangkah baiknya andai kata anda mengumpulkan suatu kitab mukhtasar yang berisi hadits-hadits yang shahih”.
Setelah Albukhori mendengar yang demikian, beliaupun menyusun Aljamius Shahih. Hadits-haditsnya dikeluarkan dari 600.000 hadits dan dikerjakan dalam tempo 16 tahun. Setiap beliau menulis suatu hadits, lebih dahulu beliau mandi dan sembahyang dua rakaat.
Perlu ditegaskan, bahwa hadits yang terdapat dalam albukhori yang dikatakan shahih, ialah hadits-hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang muttasil. Dialah pokok pembicaraan kitab. Kemudian Albukhori menyebut pula hadits-hadits maukuf, mualaf, fatwa-fatwa sahabat, tabiin dan pendapat ulama. Hadits-hadits yang mualak dan maukuf tidak masuk ke dalam pokok pembicaraan kitabnya. Hadits-hadits ini disebut sekedar mengokohkan sahanya, bukan untuk menjadi pokok pegangan.
b)   Bilangan Hadits-haditsnya
Menurut keterangan Alhafid Ibnu Hajar, bilangan hadits yang terdapat didalam Shahih Albukhori bersama dengan yang berulang-ulang, ialah 7394, selain yang mualak, muttaba dan yang maukuf. Jika diambil yang tidak berulang-ulang dari hadits-hadits yang mausul, maka dia berjumlah 2602.
c)   Perawi-perawi Shahih Albukhori
Shahih Albukhori telah didengar lebih kurang oleh 90.000 orang. Yang terkenal diantara mereka, ialah: Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yusuf Alfirabri (320 H), Ibrahin Ibnu Makil Annasafi (294  H), Hammad Ibu Syakir Annasawi (290 H), Abu  Talhah Mansyur Ibnu Muhammad Albajdawi (329 H).
d) Pengertian-pengertian yang dilengkapi oleh Judul-judul Bab yang Diberikan oleh AL-Bukhori.
     Al-Bukhori adalah salah seorang dari Imam fiqihyang mujtahid. Karenanya, kitbnya mengumpul kebanyakan masalah fiqih. Di dalam judul-judul bab beliau peletakan hasil ijtihadnya yang menunjukkan kepada keahliannya dalam bidang fiqih dan kemampuan mengistimbat hukum dari pada hadits.
Jalan Pertama:
Ialah, judul bab menunjukkan dengan jalan mutabaqah kepada pengertian yang dikandung oleh hadits, seperti beliau mengatakan: “Inilah bab yang di dalamnya terdapat ini, ini, ini, atau bab menyebut dalil yang menunjuk kepada hukum itu”, umpamanya.
Jalan Kedua:
Ialah, judul bab disusun dengan lafadz yang umum, sedang hadits-hadits yang diberi judulnya, adalah khas, untuk memberkan pengertian bahwa hadits itu adalah umum, walaupun hadits itu khusus keadaannya. Atau sebaliknya. Kerap kali Al-Bukhori membuat yang demikian ini, apabila beliau tidak menemukan hadits yang sesuai dengan syaratnya dalam bab yang beliau kehendaki. Kerap kali pula beliau membuat judul dengan bab lafadz intisyam, seperti beliau mengatakan: Bab, apakah apa yang demikian? Atau siapakah yang mengatakan yang demikian. Kerap kali pula membut judul yang nampaknya kurang manfaat, tetapi apabila diperhatikan secara mendalam, banyak manfaatnya.
4) Kitab Shahih Muslim
a) Isi Shahih Muslim dan Nilainya
Shahih muslim, ialah kitab yang disususn oleh Muslim Ibnul Hajjaz Annaisyabury yang menumpulkan hadits yang shahih yang bersajaha. Kitab ini terletak setelah shahih Al-Bukhori. Muslim dalam menyusun shahihnya menuntun jalan yang sistematis yang menyebabkan kita mudah menemukan hadits yang kita perlukan; karena Muslim mengumpulkan hadits yang bersesuaian satu sama lain di suatu tempat, dengan menyebut jalan-jalan hadits itu dan sanad-sanadnya, serta lafadz-lafadz yang berbeda-beda.
Muslim menerangkan dipendhuluan jaminya (shahihnya), bahwa beliau membagi hadits ke dalam tiga bagian:
Pertama: Yang diriwayatkan oleh para hufadz yang ahli, Kedua: Yang diriwayatkan oleh orang yang tidak diketahui keadaannya yang sederhana hafadzannya dan kedhabitannya. Ketiga: Yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak diambil habis-habisnya. Shahih Muslim ditertibkan menurut bab fiqih. Akan tetapi, Muslim tidak menyebut judul-judulnya. Judul-judul bab ini dibuat oleh pensyarah-syarahnya. Sebaik-baik pensyarag-syarah yang telah membuat judul hadits-hadits Muslim, ialah An-Nawawi.
b) Pembangkit yang Membangkit Muslim Menyusun Shahihnya
Ialah keinginan mengumpul sejumlah hadits yang shahih dan mengandung hukum-hukum syara, sunnah-sunnah-Nya dan lain-lain dengan cara-cara yang memmudahkan para pembahas, baik dalam bdang fiqih maupun dalam bidang yang lain. Musannaf yang ada pada masa itu, sukar kita mempergunakannya lantaran mengcampurkan yang shahih dan yang tidak.
c) Syarat Al-Bukhori dan Muslim
Al-Bukhori dan Muslim tidak jelas menerangkan apa yang beliau pegangi dalam menshahihkan hadits. Hanaya diketahui yang demkian dengan menyelidiki dan mendalami kitab-kitabnya. Para ulama, dalam menentukkan syarat-syarat Al-Bukhori dan Muslim, mempunyai beberapa pendapat: Syurutul Al Imanis Shittah, yaitu syarat Al-Bukhori dan Muslim, ialah: meriwayatkan hadits yang disepakati kepercayaaan dan kedhabitan perwinya sampai kepad sahabat yang mashyur tanpa ada perselisihan antara orang-orang yang kepercayaaan dan sanadnya mutassil.hadits itu adakalanya diterima dari sahabat oleh beberapa orang perawi dan adakalanya di terima dua orang perwi saja.akan tetapi Al-Bukhori meninggalkan hadits-hadits sebagian perawi karena ada suatu syubat sedang Muslim meriwayatkan hadits-hadits orang itu. Lantara tak ada syubat yang dirasakannya.
Walaupun Al-Bukhori dan Muslim masing-masingnya meriwayatkan hadits-hadits yang shahih, tetapi shahih Al-Bukhori dianggap lebih shahih dari shahih Muslim dan didhulukan shahih Al-Bukhori dan atas shahih Muslim. Hal itu adalah karena ulama-ulama hadits yang terkemuka mengakui bahwa tidak ada isi sesuatu kitab hadits yang lebih baik dari pada isi kitab Al-Bukhori, yakni: Lebih baik sanadnya; dan karena syarat-syarat menetapkan shahih sesuatu hadits, lebih kuat di dalam shahih Al-Bukhori daripada shahih Muslim.
5) Kitab Sunan An-Nasa’ie
An-Nasa-iy menyusun sebuah kitab yang bernama As-Sunanul Kubera, yang di dalamnya ada hadits yang shshih da nada yang ma’lul. Kemudian beliau meringkaskannya dalam sebuah kitab yang dinamakan “As-Sunanush Shughra” dan dinamakan “Al-Mudjtaba”. Isinya adalah shahih menurut pendapat An-Nasaiy.
Kitab Al-Mudjtaba ini adalah sebuah kitab yang paling sedikit hadits dhaif dan perawi yang tercela. Menurut pendapat sebagian ulama, dia terletak sesudah Shahih Buchary dan Shahih Muslim. Ringkasnya, syarat An-Nasaiy dalam Al-Mudjtaba, adalah syarat yang terkuat sesudah syarat-syarat Al-Buchary dan Muslim.
6) Kitab Sunan Abu Daud
Abu Daud memetik Sunannya dari 500.000 hadits. Maka jumlah hadits yang dipetik dari himpunan itu sebanyak 4800 hadits, kesemuanya dalam bidang hukum. Abu Daud adalah imam hadits yang ahli dalam bidang fiqh sesudah Al-Buchary. Karenanyalah kitabnya melengkapi segala bab fiqh dan melengkapi hadits-hadits yang dipergunakan oleh ulama-ulama fiqh dan dijadikan dasar hukum.
Derajat hadits-hadits Sunan Abu Daud:
Menurut pendapat Ibnu Shalah, segala hadits yang disebut oleh Abu Daud secara mutlak sedang hadits itu tidak ada di dalam Al-Buchary dan Muslim dan tidak dinashkan keshahihannya oleh seseorang tokoh hadits, maka hadits itu hasan menurut Abu Daud. Dalam pada itu Abu Daud mengambil hadits yang dhaif apabila tidak diperoleh hadits yang shahih.
7) Kitab Sunan At-Turmudzi
Kitab ini terkenal dengan nama: Djami’ut Turmudzy. Kadang-kadang dikatakan pula As-Sunan. At-Turmudzy menyusun kitab Djami’nya menurut bab fiqh dan diisikan dengan hadits-hadits yang shahih, hasan, dan dhaif dengan diterangkan derajat masing-masingnya dan sebab-sebab kedahifannya, sebagaimana At-Turmudzy menyebut madzhab-madzhab Shahabat, Tabi’in, dan para fuqaha. At-Turmudzy meringkaskan jalan-jalan hadits dengan jalan menyebut sebuah sanad saja dan mengisyaratkan kepada lainnya. Diakhir kitab diterangkan ‘illat-‘illat hadits.
Menurut Ibnu Radjab hadits-hadits At-Turmudzy ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang gharib, yang sebahagiannya munkar walaupun kerap kali diterangkan yang demikian.
8) Sunan Ibnu Madjah
Ulama mutaqaddimin dan kebanyakan ahli tahqiq dari golongan mutakhkhirin berpendapat bahwa induk kitab hadits hanya lima, yaitu: Shahih Al-Buchary, Shahih Muslim, Sunan An-Nasaiy, Sunan Abu Daud, dan Sunan At-Tarmidzi. Sebagian mutakhkhirin menetapkan bahwa kitab induk enam, dengan menambah Sunan Ibnu Majah kepada yang lima itu, lantaran mereka berpendapat, bahwa kitab Sunan Ibnu Majah besar manfaatnya dalam bidang ilmu fiqh.
Yang mula-mula menambah kitab induk menjadi enam, ialah Ibnu Tarir Al-Maqdisy (507 H) dalm Athhraf kitab 6. Kemudian diikuti oleh Abdul Ghaniy Al-Maqdisy dalam kitab Al-Iqmal di asma-ir ridjal. Sebagia ulama mengungkapkan bahwa kitab yang enam ialah Al-Muwatha. Diantara yang menetapkan demikian ialah Razien Ash-Sharghastiy (535 H) di dalam kitab. Tadjridush Shahih, dan Ibnul Atsier dalam kitab Djami’ul Ushul.















BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Kondifikasi atau taswin hadits, artinya pencatatan, penulisan, atau pembukuan hadits. Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah Umar Bin Abd-Al-Aziz (Khalifah kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayyah). Melalui intruksinya kepada Abu Bakar Bin Muhammad Bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah.
Latar belakang kondifikasi oleh khalifah Umar Bin Abd-Al-Aziz, ada tiga hal pokok yang melatar belakanginya, yaitu: Pertama, Ia khawatir hilangnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Kedua, Ia khawatir akan tercampurnya antara hadits-hadits yang sahih dengan hadits-hadits palsu. Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya daerah kawasan Islam, sementara kemampuan para Tabi'in antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Kodifikasi atau Tadwin hadits masa Inda adalah sejak akhir abad I Hijriah sampai akhir abad IV Hijriah.
Dalam kodifikasi hadits ada masa seleksi hadits. Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadits yang deterimanya melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya. Para ulama pada masa ini berhasil memisahkan hadits yang Dha'if dari yang Shahih dan hadits-hadits yang Mauquf dan yang Marfu', meskipun berdasarkan penelitian para ulama berikutnya masih ditemukan tersisipkanya hadits-hadits yang Dha'if pada kitab-kitab shahih.
Kodifikasi hadits, setelah berakhirnya masa seleksi hadits memasuki masa pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadits. Pada masa ini, lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab yang sudah ada. Masa ini yang disebut masa terakhir kodifikasi hadits. Tetapi, bukan berarti tidak ada lagi ulama yang menyusub kitab-kitab hadits shahih. Beberapa ulama masih ada yang melakukan penyusunan kitab hadits sampai saat ini.
3.2  Saran
Dalam masa kodifikasi, para ulama sudah melalui proses panjang dalam pengkodifikasian hadits. Untuk itu, kita sebagai generasi penurus umat islam di Indonesia harus bisa menjaga keutuhan dan mempelajari hadits yang telah susah payah di kodifikasi oleh generasi-generasi sebelumnya. Selain itu, kita juga harus mengaplikasikan ilmu-ilmu hadits dalam kehidupan sehari-hari sebagai pedoman kedua sumber hukum Islam dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Sebagai umat Islam seharusnya bisa mentafakuri proses sejarah pengkodifikasian hadits, khususnya pada masa Inda Tadwin. Sejarah yang hiruk-pikuk dalam penulisan hadits menjadi cerminan kuatnya hadits sebagai sumber kedua hukum Islam.


















DAFTAR PUSTAKA
Soetari, Endang, 2008. Syarah dan Kritik Hadits dengan Metode Takhrij. Bandung: Amal Bakti Press,
Sahrani, Sohari, 2010. Ulmul hadits,  Bogor: Ghalia Indonesia.
T.M. Hasbie Ash Shieddiqie, 1973. Sejarah Perkembangan Hadits, Jakarta: Bulan Bintang.
Soetari, Endang, 2008. Ilmu Hadits (Kajian Riwayah dan Dirayah), Bandung: CV Mimbar Pustaka.


You May Also Like

0 komentar